Sampai beberapa puluh tahun silam, sebutan “Belanda Depok" masih sering terdengar oleh masyarakat di sekitar Depok di dalam kehidupan sehari-hari.
Biasanya sebutan ini ditujukan untuk sekelompok orang warga Depok yang memiliki nama marga seperti kebelanda-belandaan.
Ada Bacas, Isakh, Jonathans, Jacob, Loen, Laurens, Leander, Tholense, Soedira, Samuel dan Zadokh.
Bukan hanya nama, budaya dan kehidupan masyarakat itu juga banyak terpengaruh oleh tradisi masyarakat Belanda.
Kelompok masyarakat itu tidak berkulit putih atau berhidung mancung layaknya ras kaukasoid. Sebab mereka sesungguhnya keturunan pribumi yang masih memiliki keterkaitan dengan era kolonialisme di masa silam, tepatnya saat pemerintahan Hindia Belanda masih berkuasa di Nusantara.
Dan jika kita menelusuri sejarah masyarakat “Belanda Depok" maka akan kita jumpai sebuah nama yakni Cornelis Chastelein.
Cornelis Chastelein adalah seorang pegawai perserikatan dagang Belanda (VOC)
Di usia 17 tahun, dia ditugaskan ke Hindia Belanda sebagai tenaga pembukuan. Anthony Chastelein ayahnya seorang Hugenot berasal dari Prancis yang melarikan diri ke Belanda akibat pertikaian agama di negerinya. Sedangkan Maria Cruydenier ibunya putri seorang walikota.
Di VOC, karier Chastelein melesat hingga menjadi saudagar besar. Selang 17 tahun sejak pertama kali bertugas di Hindia Belanda, tepatnya pada tahun 1691, Chastelein menjabat sebagai saudagar senior kelas dua dari benteng Batavia.
Menurut buku Potret Kehidupan Sosial & Budaya Masyarakat DEPOK TEMPO DOELOE, yang ditulis seorang keturunan dari 12 marga Depok, Yano Jonathans, pada tahun itu juga Chastelein mengundurkan diri dari jabatannya dengan alasan kesehatan.
Meski ada kemungkinan itu disebabkan ketidak setujuan dia dengan kebijakan politik dagang Gubernur Jenderal van Outshoorn. “Jadi waktu itu terjadi pergantian Gubernur Jenderal. Pada saat Gubernur Jenderal van Outshoorn bertugas, Chastelein tidak setuju dengan politik dagangnya karena keras sekali. Dia tidak setuju ada kekerasan di sana, kerja paksa, kerja rodi terhadap orang-orang pribumi”
Setelah mengundurkan diri, Chastelein kemudian membeli beberapa wilayah di Batavia, seperti Noordwijk (sekarang Pintu Air di Jalan Juanda) dan Lapangan Banteng, untuk dijadikan perkebunan.
Ia juga membangun rumah dan gereja kecil (kapel) di sekitar jalan Kenanga Pasar Senen.
Selanjutnya untuk mengembangkan pertaniannya, ia membeli lagi beberapa tanah di Selatan Jakarta, yaitu Seringsing (sekarang Lenteng Agung) dan Depok.
Depok sendiri awalnya ada tanah yang dibeli Chastelein dari seorang Tionghoa bernama Tio Tong Ko, dan sebagian lagi dari Van Den Barlisen. Luasnya kira-kira 1.240 hektar.
Untuk menggarap lahan pertanian itu, Chastelein juga membeli 150 budak di kawasan yang di Jakarta kini dikenal dengan nama Kampung Bali dan Kampung Bugis. Budak yang kemudian ditempatkan di Depok itu memang kebanyakan berasal dari Bali dan Sulawesi Selatan.
Para budak inilah cikal bakal dari BELANDA DEPOK.
Berbeda dengan stereotip tentang budak di masa silam yang penuh kesengsaraan, para budak milik Chastelein justru diberi kehidupan yang sejahtera. Mereka tidak hanya diminta untuk bercocok tanam, tetapi juga dididik dan diajarkan cara mengurus dan membangun sebuah sistem masyarakat. Para budak itu juga dibaptis dan menganut agama Kristen Protestan, hingga akhirnya setiap kepala keluarga diminta untuk memakai salah satu dari 12 nama Marga.
Tiga bulan setelah membeli Depok, Chastelein membuat surat wasiat yang berisi pembebasan para budaknya. Dia juga memberikan harta bendanya dan sebagian wilayah Depok kepada para budaknya.
Chastelein juga menyiapkan sebuah wilayah yang tidak boleh diganggu. Luasnya enam hektare yang kini menjadi semacam hutan lindung di tengah wilayah Depok. Wilayah yang kini itu dikenal dengan nama Taman Hutan Raya (Tahura) lokasinya tak jauh dari Stasiun Depok.
Soal istilah “Belanda Depok" sebenarnya para orang tua di Depok merasa tidak nyaman mendengarnya. Sebab istilah itu sesungguhnya adalah sebuah olok-olokan di antara anak-anak muda dalam pergaulan sekolah mereka.
Kisahnya berawal dari tahun 1876, saat alat transportasi kereta api dengan rute perjalanan Batavia-Buitenzorg (kini Jakarta-Bogor) sudah mulai beroperasi.
Keberadaan transportasi umum itu membuat warga Depok yang sempat merasa terisolasi, bisa bepergian ke Jakarta atau Bogor.
Begitu pula dengan muda-mudi Depok yang berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke Jakarta.
Dalam perjalanan kereta ini, anak-anak muda Depok tetap dengan gaya mereka sehari-hari yakni memakai bahasa Belanda selayaknya para sinyo dan noni Belanda.
Tentu saja hal ini membuat mereka diolok-olok oleh rekan-rekan mereka yang berasal dari kawasan lain di sekitar Depok, hingga lahirlah istilah “Belanda Depok"
Hebatnya, istilah ini bertahan sampai puluhan tahun kemudian.
Lain dulu, lain sekarang. Kini jejak kehidupan budak Cornelis Chastelein sulit dijumpai di jantung kota Depok. Kita baru akan menemuinya di sepanjang Jalan Pemuda dan Jalan Kartini, itu pun sangat sedikit, yaitu gedung YLCC yang mulanya adalah rumah tinggal para pendeta, Gereja Immanuel Depok, SMA Kasih Depok, SD Pancoran Mas II Depok, Rumah Sakit Harapan, Jembatan Panus dan Pemakaman Kamboja.
Untuk mempertahankan dan melestarikan peninggalan yang ada, YLCC berupaya menyelenggarakan diskusi dan seminar mengenai sejarah Depok. YLCC sendiri merupakan perkumpulan dari 12 kaum keluarga Depok. Yayasan ini dibentuk untuk memelihara aset-aset yang dulu dihibahkan oleh Chastelein kepada para budaknya. Yayasan ini juga memberi pelayanan sosial dan menyelenggarakan pendidikan bagi 11 keluarga yang tersisa dan 12 marga Depok. Sejak awal pendiriannya 4 Agustus 1952, yayasan ini tetap aktif sampai hari ini.
Menurut buku Potret Kehidupan Sosial & Budaya Masyarakat Depok Tempo Doeloe, dahulu Depok juga memiliki monumen yang berlokasi di depan Rumah Sakit Harapan. Monumen berbentuk tugu, berdiri atas prakarsa Presiden Depok, Johhanes Mathijs Jonathans.
Cikal bakalnya dimulai pada 1871, saat Mr. H. Klein, seorang jaksa, mengusulkan agar masyarakat Depok tetap mengenang jasa Cornelis Chastelein.
Sayangnya, tugu ini sudah tidak ada, akibat dirobohkan di tahun 1960-an. Kini ada upaya dari YLCC untuk membangun kembali tugu tersebut demi pengetahuan sejarah generasi penerus.
Lucunya, di tengah pembangunan tugu, Pemerintah kota Depok sempat melarang. Namun persoalan ini akhirnya selesai, bahkan pembangunan akan diteruskan dengan gerbang cagar budaya.
No comments:
Post a Comment