Wednesday, January 15, 2020

Keroncong Tugu

Seni musik Keroncong lahir dari masyarakat keturunan Portugis yang tinggal di
kampung Tugu, Jakarta Utara. 
ketika Malaka (yang dikuasai Portugis) jatuh ke tangan Belanda (1641) sekitar 800 tawanan Portugis dibawa ke Batavia sebagai budak. 
Dari tawanan tersebut pada tahun 1661, 23 keluarga dimerdekakan (mardijkers) dan diberi kebebasan untuk tinggal tanpa membayar pajak di area seluas 20 hektar di Kampung Tugu dengan syarat berpindah keyakinan dari Katolik ke Kristen Protestan. 
Sejak itu, nama marga Portugis kemudian diubah menjadi nama marga Belanda seperti Andres, Cornelis, Mihils, Abraham Browne, Quiko. 

Di Kampung Tugu yang masa itu masih hutan lebat, 23 keluarga Portugis hidup dari bercocok tanam, berburu dan memancing ikan. Di kawasan rawa-rawa Cilincing itulah eks orang buangan yang dijuluki kaum Mardijkers ini membangun komunitas yang kini dikenal sebagai orang “Kampoeng Toegoe”

Untuk menikmati hiburan, mereka harus berjalan kaki dengan jarak tempuh yang jauh dan melalui hutan lebat, ke area Kota Tua. Karena itu, mereka membuat alat musik sendiri yang dibuat dari batang kayu bulat dari beberapa jenis pohon. Mereka membuat gitar kecil menyerupai tapakkunyo (alat musik tradisi Portugis). Mereka menyebut alat kreasinya, macina. Terbuat dari kayu yang dibobok di bagian tengah dan diberi senar dari kulit pohon waru. Alat musik macina ini menghasilkan bunyi crong.. croong… crooong. 
Ketika mereka sedang memainkan macina, orang Betawi di masa itu menyebut “orang Tugu lagi crang crong” 
Pada perkembangan selanjutnya, musik masyarakat Tugu itu disebut musik keroncong.

Musik keroncong itu pada mulanya dimainkan masyarakat Tugu untuk melepas lelah setelah berladang. Di waktu petang, mereka beristirahat minum kopi, bernyanyi sambil memainkan macina. Lama-kelamaan banyak orang Betawi dan orang Belanda yang menyukainya, datang ke Kampung Tugu untuk menikmati musik crang crong itu. Kemudian para pemusik Indies menyerap cara bermain musik masyarakat Kampung Tugu dengan menggunakan ukulele. Banyak orang Betawi juga yang memainkan musik crang crong ini ke Tugu sambil membawa alat musik mereka, seperti suling dan rebana. Musik tradisi Tugu yang kemudian dikenal sebagai musik keroncong ini belakangan dibawa ke beberapa wilayah oleh penggemarnya dan melahirkan musik keroncong dengan kekhasannya sendiri-sendiri. Seperti di Gambir berkembang musik keroncong Old Batavia, di Pasar Baru berkembang Life Java, di Kemayoran berkembang the Crocodile.

Di masyarakat Tugu sendiri mulai terbentuk kelompok keroncong yang dipimpin Yosep Quiko. Ia mengumpulkan para pemuda di Tugu untuk bergabung dalam Himpunan Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe, anno 1925. 
Menginjak tahun 1935, himpunan ini dikelola oleh adiknya, Jacobus Quiko. 
Mulai tahun 1950 himpunan keroncong ini semakin menunjukkan pakem, gaya permainan yang menjadi ciri khas keroncong Tugu.

Pada tahun kemerdekaan 1945, banyak pemberontakan yang mengatasnamakan etnis, agama, suku yang ingin menyerang masyarakat keturunan Portugis di Kampung Tugu. Bersyukur ada seorang tokoh masyarakat, Haji Nasrum, yang membela orang Kampung Tugu dan menyatakan bahwa keturunan Portugis di Kampung Tugu juga termasuk orang pribumi. 
Di masa itu, sebagian masyarakat Kampung Tugu eksodus ke Papua dan Belanda. sebagaimana juga dituturkan Arthur James Michiels, pemain bas dari grup Krontjong Toegoe. Ayahnya, Arend Juan Michiels, termasuk yang mengalami eksodus pada 31 Desember 1950. Pertama mereka eksodus ke Penjambon lalu ke Belanda. Sejak itu musik keroncong Tugu sempat mengalami vakum hingga tahun 1970-an.

Keadaan berubah setelah Gubernur DKI Ali Sadikin mengintruksikan masyarakat Tugu untuk menunjukkan kembali potensi yang ada di Kampung Tugu, termasuk musik keroncong Tugu. Tujuannya agar keberadaan masyarakat Tugu diakui pemerintah. Gereja Tugu yang dibangun sejak keturunan Portugis membuka lahan ini pun oleh Ali Sadikin diangkat statusnya menjadi cagar budaya.

Di masa itu, Jacobus selaku pemimpin Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe, anno 1925 mengajak masyarakat Tugu untuk menghidupkan kembali seni mereka. Tahun 1978, Jacobus meninggal, kemudian digantikan anaknya selama dua tahun. Karena anaknya seorang pelaut, kepemimpinan grup keroncong ini dialihkan kepada Samuel Quiko. 
Di masa kepemimpinan Samuel Quiko ini banyak upaya dilakukan agar pemerintah semakin mengenali dan mendukung keberadaan musik keroncong Tugu. 

Namun akibat kurangnya minat kaum muda terhadap musik keroncong, Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe, anno 1925 ini pun perlahan-lahan redup alias mati suri. 

Pada tahun 1988, Arend Michiels merasa terpanggil untuk mengangkat kembali kejayaan musik leluhur mereka itu. Ia pun lalu mendirikan Grup Kerontjong Toegoe, kemudian dilanjutkan kepada anak-anaknya. 
Empat Michiels bersaudara, Adre, Arthur James, Sartje Margaretta dan Milton Augustino menjadi motor Grup Kerontjong Toegoe bersama anak-anak “Kampoeng Toegoe” lainnya, termasuk mereka yang sudah bermukim di luar Kampung Tugu. 

Sementara tahun 2006 Samuel Quiko selaku Orkes Poesaka Krontjong Moresco Toegoe, anno 1925 meninggal dunia. Kepemimpinan dilanjutkan oleh anaknya, Guido Quiko. Himpunan Orkes Poesaka Kerontjong Morescho Toegoe, Anno 1661 kini bernama Orkes Keroncong Cafrinho Tugu

Pemerintah DKI memberikan dukungan pada musik keroncong Tugu sebagai salah satu kantong budaya di DKI dan menjadikan keroncong Tugu sebagai Warisan Cagar Budaya Tak Benda sejak tahun 2015.

Selain grup Orkes Keroncong Cafrinho Tugu terdapat beberapa grup musik keroncong yang turut menghidupkan kembali musik nasional ini, antara lain grup Kerontjong Toegoe yang digagas oleh Arend Michiels. Tahun 1963, Arend Michiels kembali ke Kampung Tugu dari negara tujuan eksodusnya, Belanda. Ia mengumpulkan anak muda di kampung Tugu dari fam Cornelis, Abraham, Michiels dan fam lainnya. Tahun 1988 mereka membuat grup yang diberi nama Krontjong Toegoe yang dikoordinir oleh Franky Abraham. 
Franky Abraham kemudian menyerahkan estafet kepemimpinan grup kepada Andre Juan Michiels. 

Arthur dari Krontjong Toegoe menjelaskan keistimewaan musik keroncong Tugu, selain menggunakan alat musik rebana (yang tidak dimainkan pada keroncong gaya Soloan) juga minus alat musik tiup. 
Lagu-lagu yang mereka sajikan juga beragam, dari lagu yang berbahasa Portugis, Indonesia, hingga yang berbahasa kreol (bahasa Portugis yang sudah diadaptasi sedemikian rupa di masyarakat Tugu) 
Lagu berbahasa kreol ini, antara lain berjudul Yan kaga leti (dalam penulisan bahasa Kreol) atau Jan Cagar Letie (dalam penulisan bahasa Portugis) 
Artinya Yan : nama seorang pendeta Belanda di Kampung Tugu 
Kaga = buang air besar 
leti = susu 
Maksudnya lagu ini mengisahkan wabah kolera yang pernah menyerang masyarakat Kampung Tugu di masa penjajahan Belanda. 

No comments:

Post a Comment