Benang Merah

Untuk Bisnis silahkan menghubungi Kami di 081213085882

Wednesday, January 22, 2020

sejarah opium

Opium, apiun, atau candu (slang : poppy) adalah getah bahan baku narkotika yang diperoleh dari buah candu (Papaver somniferum L. atau P. paeoniflorum) yang belum matang.

Opium merupakan tanaman semusim yang hanya bisa dibudidayakan di pegunungan kawasan subtropis. Tinggi tanaman hanya sekitar satu meter. Daunnya jorong dengan tepi bergerigi. Bunga opium bertangkai panjang dan keluar dari ujung ranting. Satu tangkai hanya terdiri dari satu bunga dengan kuntum bermahkota putih, ungu, dengan pangkal putih serta merah cerah. Bunga opium sangat indah hingga beberapa spesies Papaver lazim dijadikan tanaman hias. Buah opium berupa bulatan sebesar bola pingpong bewarna hijau.

Istilah untuk candu yang telah dimasak dan siap untuk dihisap adalah madat. Istilah ini banyak digunakan di kalangan para penggunanya bukan hanya sebagai kata nomina tetapi juga kata kerja.

Buah opium yang dilukai dengan pisau sadap akan mengeluarkan getah kental berwarna putih. 

Setelah kering dan berubah warna menjadi cokelat, getah ini dipungut dan dipasarkan sebagai opium mentah.

Opium mentah ini bisa diproses secara sederhana hingga menjadi candu siap konsumsi. 

Kalau getah ini diekstrak lagi, akan dihasilkan morfin. Morfin yang diekstrak lebih lanjut akan menghasilkan heroin.

Tanaman opium yang berasal dari kawasan pegunungan Eropa Tenggara ini sekarang telah menyebar sampai ke Afganistan dan "segitiga emas" perbatasan Myanmar, Thailand, dan Laos.

Menurut PBB, Afganistan saat ini merupakan penghasil opium terbesar di dunia dengan 87%. 

Laos juga merupakan salah satu penghasil terbesar.

Di Indonesia, bunga poppy yang tidak menghasilkan narkotik banyak ditanam di kawasan pegunungan seperti Cipanas, Bandungan, Batu, dan Ijen.

Sejarah madat dan candu di Jawa

Madat dan candu di Jawa tahun 1888

Candu sudah dikenal oleh orang Jawa sejak berabad-abad lalu, setidaknya pada abad 17 ketika Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan candu sebagai komoditas perdagangan yang penting untuk dimonopoli serta menjadi objek pajak.

Satu dari 20 orang Jawa mengisap candu, tulis pakar candu, Henri Louis Charles Te Mechelen, tahun 1882, seperti yang tercantum dalam buku "Opium To Java" karya James R.Rush. 

Kebiasaan mengisap candu bukan hanya terjadi di tanah Jawa, tetapi juga di sejumlah wilayah koloni Eropa di Asia, tulis TeMechelen, yang waktu itu menjabat sebagai Inspektur Kepala Regi Opium dan Asisten Residen Yuwana di wilayah Jawa Tengah.

Opium tidak tumbuh di Jawa, melainkan didatangkan dari daerah lain, diduga dari Turki dan Persia. 

Dalam buku "Opium To Java" saudagar Arab disebutkan membawa masuk candu ke wilayah ini, meskipun tidak ditemukan bukti-bukti lain yang menunjukkan sejak kapan candu mulai diperdagangkan di Jawa.

Candu merupakan komoditas penting yang pada awalnya diperebutkan bersama oleh Inggris, Denmark dan Belanda, tetapi kemudian Belanda yang memenangkan monopoli perdagangannya, sedangkan pelaksananya adalah para elit China di Jawa.

Belanda melalui VOC pada 1677, mendapatkan perjanjian dengan raja Jawa ketika itu, Amangkurat II, untuk memasukkan candu ke Mataram dan memonopoli perdagangan candu di seluruh negeri. Perjanjian serupa juga disusul di Cirebon setahun kemudian. 

Sejak tahun 1619-1799, VOC bisa memasukkan 56.000 kg opium mentah setiap tahun ke Jawa. 

Dan pada 1820 tercatat ada 372 pemegang lisensi untuk menjual opium.

Penikmat candu tersebar di berbagai kalangan dan meluas di Jawa khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. 

Pada papan atas, candu dikonsumsi sebagai gaya hidup, disuguhkan sebagai tanda kehormatan bagi tetamu di rumah para bangsawan Jawa dan China. 

Mereka adalah kaum pengembara, musisi, seniman teater rakyat, pedagang keliling dan tukang-tukang upahan di perkebunan yang memakai candu untuk menikmati sensasi hayal, merajut mimpi dan mengurangi pegal-pegal di badan.

Namun di Banten dan tanah Pasundan, jumlah pecandu tidak besar. 

Budaya, moral dan agama Islam yang kuat di kalangan masyarakat, telah menjadi benteng yang memagari opium di wilayah tersebut.

Sempat ada larangan resmi memperdagangkan opium di wilayah tersebut, dan Banten menutup perdagangan opium pada awal abad 19, meskipun demikian pasar gelap candu dapat ditemukan.

James R.Rush, juga menulis terjadi penyelundupan opium di Priangan pada waktu itu dan kemudian Belanda berhasil membuka perdagangan di wilayah tersebut, jumlah pemakainya jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan wilayah Surakarta, Yogyakarta, Kediri, Madiun, Rembang, Kedu, Pasuruan, Probolinggo bahkan juga di eks karesidenan Besuki jauh di timur.

Seorang dokter Inggris, Thomas Syndenham, pada 1680 menulis "Di antara semua obat-obatan yang disediakan bagi manusia atas perkenan Tuhan, tidak ada yang semanjur dan seuniversal opium untuk meringankan penderitaan"

Secara klinis, morfin, sampai sekarang adalah obat paling unggul untuk menghilangkan rasa sakit dan dipergunakan sebagai pengobatan resmi, meskipun penyalahgunaannya juga meluas di seluruh pelosok dunia.

Karakter analgesik opium yang dapat meredakan rasa sakit tidak diragukan, menyebabkan benda itu disukai orang Jawa, terutama mengingat fasilitas layanan kesehatan yang tidak memadai, lingkungan tempat tinggal yang tidak sehat sehingga banyak penyakit merebak di antara penduduk seperti diare, malaria, tipus, campak, demam.

Dalam suatu survei di kalangan pemakai pada 1890, banyak yang mengaku pada awalnya mereka mencoba opium untuk meringankan penderitaan atas keluhan sakit kepala, disentri, asma, demam biasa, malaria, tuberkolosis , menghilangkan letih-lesu bahkan mengobati penyakit kelamin.

Di kalangan para seniman yang harus begadang karena pekerjaan, misalnya sinden dan dalang, penari, pemain teater, candu diyakini dapat membuat mereka kuat terjaga dan tetap bugar.

Sempat ada anggapan bahwa candu dapat meningkatkan vitalitas, gairah seksual dan eforia, sampai-sampai tertulis dalam syair Jawa, Suluk Gatoloco. 

tokoh dalam syair itu Gatoloco, berwujud kelamin laki-laki yang membentengi diri dengan menelan opium dan merasakan kekuatan candu yang memabukkan itu menyebar ke seluruh tubuh dan membuat seluruh kekuatannya kembali.

Pemakaian candu semakin meluas, dampak negatif juga terlihat dari pemakaian uang yang cukup besar untuk belanja candu. 

Tetapi, pandangan orang Jawa terhadap candu tidaklah seragam. Pada masa itu pun sudah ada kelompok anti candu yang berjuang untuk memeranginya dengan memasukkannya pada larangan "molimo" yaitu ajaran moral yang melarang kaum laki-laki berbuat lima kegiatan yang berawalan dengan kata M, yaitu Maling (mencuri), Madon (main perempuan), Minum (alkohol), Main (berjudi) dan Madat (mengisap candu).

Penguasa Surakarta, Raja Paku Buwono IV, yang memerintah pada 1788-1820, menuliskan ajaran moral yang benar dalam syair panjang "Wulang Reh" (ajaran berperilaku benar)

Ia menggambarkan pemadat sebagai pemalas dan orang yang bersikap masa bodo yang hanya gemar tidur di bale untuk mengisap candu "Jauhi madat, madat tidak baik untukmu" 

Pujangga Ronggowarsito, menilai peringatan Paku Buwono IV, tentang opium dapat dibaca sebagai komentar terhadap merosotnya nilai-nilai moral kerajaan di Jawa yang membantu mempercepat perpecahan politik dan perbudakan yang dilakukan Belanda terhadap pihak kerajaan.

Peringatan bagi kalangan tinggi di kerajaan akan bahaya opium telah dinyatakan secara berkala dalam dokumen-dokumen sastra. Paku Buwono II, malahan menyerukan larangan mengisap opium bagi seluruh keturunannya.

Di pihak Belanda, juga tumbuh gerakan etis sejak 1880, yang dilakukan untuk meningkatkan kemakmuran warga. 

Pieter Brooshooft, mengeluarkan Memorie yang menyerukan pengurangan pajak pada orang pribumi dan proyek-proyek yang dapat memajukan pertanian rakyat.

Pada 1899, C.Th Deventer, membujuk pemerintah Belanda untuk membayar utang kehormatan sebagai ganti rugi atas sikap mengabaikan penduduk di wilayah jajahan, disusul dengan pernyataan resmi Ratu Wilhelmina pada 1901, yang menyatakan penyesalan atas hilangnya kesejahteraan penduduk Jawa.

Tahun-tahun etis ini ditandai dengan perluasan kesempatan pendidikan bagi penduduk dan upaya perbaikan kesejahteraan lainnya termasuk peraturan mengenai peredaran candu.

Belanda membentuk suatu lembaga khusus yang diberi nama Regi, untuk meluruskan kesalahan pada masa lalu. 

Sejak itu, semua urusan opium dipusatkan di ibu kota, juga pabrik-pabrik opium yang dulu tersebar di daerah dan dikuasai para bandar yang menghasilkan produksi dengan variasi luas, baik dari kualitas dan citarasa, dipusatkan di Batavia dalam bentuk produksi yang seragam.

Birokrasi dalam pembuatan dan peredaran mulai diterapkan untuk mengantisipasi penyalahgunaannya dan banyak orang terpelajar bergabung dalam Regi hingga di tingkat daerah.

Alberthien Endah, seorang wartawan masa kini menulis buku berjudul "Jangan Beri Aku Narkoba" sebuah karya fiksi untuk mengingatkan generasi masa kini tentang ancaman narkoba.

Dalam pengantarnya, Alberthien Endah, mempersembahkan buku itu bagi semua anak muda yang menyatakan "Narkoba No Way" 

Sebab narkoba takkan memberimu apa-apa atau membuatmu menjadi siapa-siapa, bahkan akan membuatmu kenapa-kenapa di dunia yang memberi begini banyak kesempatan. 

Buku tersebut mengangkat kisah sosial yang sebenarnya klasik dalam cerita-cerita fiksi, keluarga mapan yang kehilangan makna hidup sebagai keluarga dan anak-anak yang terjerumus pada narkoba, sebagai pelarian dan menunjukkan kegagalan orang tua serta lembaga pemberantas narkoba dalam menyelesaikan persoalan narkoba. 

Posted by QhubiL at 8:51 AM
Email ThisBlogThis!Share to XShare to FacebookShare to Pinterest

No comments:

Post a Comment

Newer Post Older Post Home
Subscribe to: Post Comments (Atom)

About Me

My photo
QhubiL
View my complete profile

Blog Archive

  • ►  2021 (7)
    • ►  July (1)
    • ►  April (6)
  • ▼  2020 (210)
    • ►  November (1)
    • ►  October (26)
    • ►  September (8)
    • ►  August (42)
    • ►  March (36)
    • ►  February (35)
    • ▼  January (62)
      • Jalur Sutra (Silk Road)
      • Teaput Dome (skandal teko teh)
      • Al Capone
      • Crowley "two gun" si dua senjata
      • Sun Tzu, The Art of War & 36 Strategi
      • The Tielman Brothers
      • Prabu Kertanegara, pemimpin Kerajaan Singhasari, m...
      • Drunken Master (Jurus Mabuk)
      • Bakoel Koffie
      • Kisah penyakit Tho'un, Black Death dan Kolera di B...
      • Johny Indo
      • Jam Pasir
      • Bunga Mei Hua
      • Ang Pao
      • Dewi Kwan im
      • Ketika Hujan turun menjelang Hari Raya Imlek
      • Kumpulan Sajak
      • sejarah opium
      • Pieter Erbelverd dan Kampung Pecah Kulit
      • MARKONAH
      • RRI (Radio Republik Indonesia)
      • Sejarah Perkeretaapian Indonesia
      • Jalan Raya Pos Deandels
      • Geger Pecinan
      • Legenda Kuda Gagak Rimang
      • Arya Penangsang
      • Ratu Kalinyamat
      • Perompak Wokou
      • Kerajaan Kalingga di Indonesia
      • Orang Keling
      • BAZAR
      • Anneke Gronloh
      • Lima Sekawan
      • si Komo
      • Cerita Pengantar Tidur
      • Nina Bobo
      • Dongeng bukan hanya sekedar pengantar tidur
      • Dongeng sebelum tidur
      • Portugis menguasai Malaka
      • Portugis menyerah kepada VOC
      • Portugis hengkang dari Malaka
      • Portugis Malaka
      • kreol melayu
      • Bahasa Pijin
      • Bahasa Kreol
      • Keris
      • Punakawan
      • sejarah aksara dan penanggalan Jawa
      • kalender Jawa Sultan Agung
      • Pasaran Jawa, Pancawara, Nepto, Neptu, Weton, Padinan
      • Barongan pohon bambu
      • Tanujiwa
      • Kosa kata bahasa Indonesia dari bahasa Portugis
      • Keroncong Tugu
      • Maria Van Engels
      • Waterleiding (air ledeng)
      • Rumah Tanjung Timur (Villa Nova)
      • Cina Benteng
      • Nie ho kong
      • Tehyan
      • Casey Jones
      • BELANDA DEPOK
  • ►  2019 (1)
    • ►  December (1)
Watermark theme. Powered by Blogger.