Perusahaan air minum yang dikelola negara secara modern sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda pada tahun 1920an dengan nama Waterleiding, sedangkan pada pendudukan Jepang perusahaan air minum dinamai Suido Syo.
Pada tahun 1443 terekam adanya bukti tertulis sebagaimana dilaporkan bahwa pada masa itu air yang merupakan minuman sehari-hari orang Asia Tenggara dialirkan dari gunung, mengalir kerumah-rumah penduduk dengan pipa bambu.
Air minum disalurkan langsung ke Istana Aceh sedangkan sumur diperuntukan bagi daerah yang jauh dari sungai seperti dilaporkan terjadi pada tahun 1613.
Belanda menjajah Indonesia dengan diselingi oleh penjajah Prancis (1808-1811) dan penjajahan Inggris (1811-1816) penduduk Jakarta waktu itu sekitar 15.000 jiwa dan air minum masih sangat sederhana dengan memanfaatkan sumber air permukaan (sungai) yang pada masa itu kualitasnya masih baik.
Di Asia Tenggara kebiasaan penduduk untuk mengendapkan air sungai dalam gentong atau kendi selama 3 minggu atau satu bulan telah dilakukan untuk mendapatkan air minum yang sehat.
Di Pulau Jawa sebagaimana dilaporkan oleh Raffles pada tahun 1817 penduduk selalu memasak air terlebih dulu dan diminum hangat-hangat untuk menjamin kebersihan dan kesehatan, dan dilaporkan bahwa orang Belanda mulai mengikuti kebiasaan ini terutama di Kota Banjarmasin yang airnya keruh.
Pada tahun 1818 salah satu syarat penting untuk pemilihan pusat kota serta Istana Raja ditentukan oleh faktor tersedianya air minum.
Di Jakarta tahun 1882 tercatat keberadaan air minum di Tanah Abang yang mempunyai kualitas jernih dan baik yang dijual oleh pemilik tanah dengan harga F 1,5 per drum, sedangkan untuk air sungai dijual 2-3 sen per pikul (isi dua kaleng minyak tanah)
Pada masa pra-kemerdekaan, Dinas Pengairan Hindia Belanda (1800 - 1890) membangun saluran air sepanjang 12 kilometer dan bendungan yang mengalirkan air dari Sungai Elo ke pusat kota Magelang untuk memenuhi kebutuhan air bersih dan mengairi sawah di wilayah Magelang.
Pemerintah Penjajahan Hindia Belanda di Surabaya, tahun 1890, memberikan hak konsesi kepada pengusaha Belanda warga Kota Surabaya, Mouner dan Bernie, yang dinilai berjasa merintis penyediaan air bersih di Surabaya.
Konsesi ini berupa pengelolaan mata air Umbulan, Pasuruan, untuk dialirkan ke Kota Surabaya dengan memasang pipa sepanjang 20 kilometer selama dua tahun.
Tahun 1900, pemerintah mendirikan perusahaan air minum dan instalasinya diresmikan tiga tahun kemudian. Untuk memberikan proteksi pada perusahaan tersebut, pemerintah mewajibkan penghuni rumah mewah untuk menjadi pelanggan. Tiga tahun setelah berdirinya perusahaan air minum itu, sambungan instalasi air minum di Surabaya mencapai 1.588 pelanggan.
Status perusahaan air minum pada bulan Juli 1906 dialihkan dari pemerintah pusat menjadi dinas air minum kotapraja (kini PDAM Kota Surabaya)
Pada tahun 1905 terbentuklah Pemerintah Kota Batavia dan pada tahun 1918 berdiri PAM Batavia dengan sumber air bakunya berasal dari Mata Air Ciomas, pada masa itu penduduk kurang menyukai air sumur bor yang berada di Lapangan Banteng karena bila dipakai menyeduh teh menjadi berwarna hitam (kandungan Fe/besi nya tinggi)
Tahun 1953 dimulailah pembangunan Kota Baru Kebayoran di Jakarta, pada saat itu dilakukan pelimpahan urusan air minum ke pemerintah Provinsi Pulau Jawa dan Sumatra.
Pada tahun 1959 terbentuklah Djawatan Teknik Penjehatan yang mulai mengurusi air minum, dimulai pembangunan air minum di kota Jakarta (3.000 l/dt), Bandung (250 l/dt), Manado (250 l/dt), Banjarmasin (250 l/dt), Padang (250 l/dt) dan Pontianak (250 l/dt) dengan sistem “turn key project” loan dari Pemerintah Prancis.
Tiga waduk yang dibangun di wilayah Jawa Barat dengan membendung Sungai Citarum, yaitu Waduk Jatiluhur (1966), Waduk Cirata (1987), dan Waduk Saguling (1986) menandai era dimulainya penanganan sumber daya air secara terpadu.
Waduk Jatiluhur, seluas sekitar 8.300 hektare, dimanfaatkan untuk mengairi sekitar 240.000 hektare sawah di empat kabupaten di utara Jawa Barat.
Air waduk juga digunakan untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) dengan kapasitas terpasang 150 MW dan sebagai sumber air baku untuk air minum Jakarta (sekitar 80% kebutuhan air baku untuk Jakarta dipasok dari waduk ini melalui Saluran Tarum Barat)
Pemerintah Pusat bertanggung jawab dalam pembangunan "unit produksi” dan Pemda di jaringan distribusi, dalam perjalanan waktu kebijakan ini agak tersendat oleh karena keterlambatan Pemda dalam menyiapkan dana “sharingnya”
Pada awal tahun 1981 diperkenalkan “dekade air minum” (Water Decade) yang dideklerasikan oleh PBB.

Pada kurun waktu 1900 hingga 1920, jaringan pipa air alias waterleiding yang biasanya dikelola perusahaan atau jawatan, jauh lebih terbatas daripada sekarang.
Orang yang kaya raya belum tentu setuju waterleiding.
Waterleiding hadir sebagai solusi penyedia air bersih di zaman kolonial, termasuk keperluan air bersih untuk minum.
Ratusan tahun sebelumnya, menurut penelusuran Anthony Reid, Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1 : Tanah di Bawah Angin, sejak lama orang di Asia Tenggara memenuhi kebutuhan air bersih dengan mengendapkan air sungai cukup lama agar jernih. Orang Siam (Thailand) bahkan harus mengendapkannya selama tiga minggu sampai satu bulan di dalam gentong atau kendi.
Pemerintah kolonial yang punya kepentingan akan air bersih pun mengurusi banyak mata air dan membangun banyak menara air di beberapa kota di Indonesia.
Contohnya di alun-alun kota Magelang. Mata air dan menara air itu terkait pula dengan waterleiding, jawatan penyedia air bersih via pipa yang baru marak di Hindia Belanda pada awal abad ke-20.
Di masa itu, air bersih sudah dirasa jadi masalah yang harus diselesaikan di Jakarta.
Menurut catatan Mona Lohanda dalam Sejarah Sosial DKI Jakarta Raya (1984), air bersih untuk Gemeente Batavia (Kotapraja Jakarta) berada di Ciomas, dekat Bogor.
Air itu disalurkan lewat waterleiding. Pembangunannya sudah disetujui oleh sidang Gemeente pada 21 Oktober 1918 dan dikerjakan dalam waktu empat tahun.
Waterleiding itu diresmikan pada tanggal 23 Desember 1922. tanggal ini dijadikan hari ulang tahun Perusahaan Air Minum Jakarta Raya (PAM-Jaya)
Kala itu, Yahya Datuk Kayo adalah Demang Payakumbuh. Usulan ini disambut baik oleh ahli mata dokter Syaaf.
Menurutnya, air yang biasa digunakan masyarakat kurang baik bagi kesehatan, termasuk kesehatan mata.
Namun, pembangunan tidak bisa langsung dilakukan karena besarnya dana yang diperlukan. Pembangunan baru terlaksana pada 1932 dan diresmikan 30 Januari 1933.
Di Surabaya, menurut De Waterstaats Ingenieur Volume 7 (1919) dan Dukut Imam Widodo dalam Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe (2008) pemasangan pipa-pipa waterleiding oleh NV Biernie dianggap sudah selesai pada 1903 dan resmi dipakai pada 8 Oktober 1903.
Pelanggannya di Surabaya tahun 1906 sudah mencapai 1.588 dengan volume air yang terpakai 9.000 m3 tiap harinya.
Saat ini di tiap daerah ada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang memasok air bersih ke masyarakat melalui jaringan pipa waterleiding seperti zaman kolonial dulu. Jangkauan jaringan pipanya lebih banyak ketimbang waterleiding kolonial.
Meski tak lagi dianggap kemewahan, hingga kini tak semua orang Indonesia mandi dari air waterleiding atau pipa-pipa PDAM. Itulah sebabnya air sumur dan pompa air populer.
Di zaman kolonial, Waterleiding terkait dengan jawatan bernama Burgeiljke Openbare Werken (BOW) alias Pekerjaan Umum.
Perlahan, istilah waterleiding yang masih dipakai pada zaman Sukarno pun berganti sebagai PAM (singkatan dari Perusahaan Air Minum)
Namun, istilah "air ledeng" masih ada dan bersanding dengan PAM.
Orang-orang di Surabaya menyebutnya banyu ledeng (air ledeng)
Di Bandung, terdapat kawasan dan terminal dengan nama Ledeng dan di situ pula terdapat pipa-pipa air warisan waterleiding zaman Hindia Belanda.
No comments:
Post a Comment