Ayah Bagus Burhan merupakan keturunan Kesultanan Pajang, sedangkan ibunya adalah keturunan dari Kesultanan Demak.
Bagus Burhan diasuh oleh Ki Tanujaya, abdi dari ayahnya.
Sewaktu muda, Burhan terkenal nakal dan gemar judi. Ia dikirim kakeknya untuk berguru agama Islam pada Kyai Imam Besari pemimpin Pesantren Gebang Tinatar di desa Tegalsari, Ponorogo. Pada mulanya ia tetap saja bandel, bahkan sampai kabur ke Madiun. Setelah kembali ke Ponorogo, konon ia mendapat "pencerahan" di Sungai Kedungwatu, sehingga berubah menjadi pemuda alim yang pandai mengaji.
Ketika pulang ke Surakarta, Burhan diambil sebagai cucu angkat Panembahan Buminoto (adik PakubuwonoIV)
Ia kemudian diangkat sebagai Carik Kadipaten Anom bergelar Mas Pajanganom.
Pada masa pemerintahan Pakubuwono V, karir Burhan tersendat-sendat karena Raja baru ini kurang suka dengan Panembahan Buminoto yang selalu mendesaknya agar pangkat Burhan dinaikkan.
Burhan menikah dengan Raden Ayu Gombak dan ikut mertuanya, Adipati Cakradiningrat di Kediri. Di sana ia merasa jenuh dan memutuskan berkelana ditemani Ki Tanujoyo. Konon, Burhan berkelana sampai ke Pulau Bali untuk mempelajari naskah-naskah sastra Hindu koleksi Ki Ajar Sidalaku.
Bagus Burhan diangkat sebagai Panewu Carik Kadipaten Anom bergelar Raden Ngabei Ronggowarsito, menggantikan ayahnya yang meninggal di penjara Belanda tahun 1830. Lalu setelah kematian Yasadipura II, Ranggawarsita diangkat sebagai pujangga Kasunanan Surakarta oleh Pakubuwono VII.
Pada masa inilah Ronggowarsito melahirkan banyak karya sastra.
Hubungannya dengan Pakubuwono VII juga sangat harmonis. Ia juga dikenal sebagai peramal ulung dengan berbagai macam ilmu kesaktian.
Naskah-naskah babad cenderung bersifat simbolis dalam menggambarkan keistimewaan Ronggowarsito.
Misalnya, ia dikisahkan mengerti bahasa binatang. Ini merupakan simbol bahwa Ronggowarsito peka terhadap keluh kesah rakyat kecil.
Pakubuwono IX naik tahta tahun 1861. Ia adalah putra Pakubuwono VI yang dibuang ke Ambon tahun 1830 karena mendukung Pangeran Diponegoro.
Konon, sebelum menangkap Pakubuwono VI, pihak Belanda lebih dulu menangkap juru tulis keraton, yaitu Mas Pajangswara untuk dimintai kesaksian. Meskipun disiksa sampai tewas, Pajangswara tetap diam tidak mau membocorkan hubungan Pakubuwono VI dengan Pangeran Diponegoro.
Meskipun demikian, Belanda tetap saja membuang Pakubuwono VI dengan alasan bahwa Pajangswara telah membocorkan semuanya.
Fitnah inilah yang menyebabkan Pakubuwono IX kurang menyukai Ronggowarsito yang tidak lain adalah putra Pajangswara.
Hubungan Ronggowarsito dengan Belanda juga kurang baik. Meskipun ia memiliki sahabat dan murid seorang Indo bernama C.F Winter, tetap saja gerak-geriknya diawasi Belanda.
Ronggowarsito dianggap sebagai jurnalis berbahaya yang tulisan-tulisannya dapat membangkitkan semangat juang kaum pribumi. Karena suasana kerja yang semakin tegang, akibatnya Ronggowarsito pun keluar dari jabatan redaksi surat kabar Bramartani tahun 1870.
Ranggawarsita meninggal dunia secara misterius tanggal 24 Desember 1873. Anehnya, tanggal kematian tersebut justru terdapat dalam karya terakhirnya, yaitu Serat Sabdajati yang ia tulis sendiri. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Ronggowarsito meninggal karena dihukum mati, sehingga ia bisa mengetahui dengan persis kapan hari kematiannya.
Penulis yang berpendapat demikian adalah Suripan Sadi Hutomo (1979) dan Andjar Any (1979)
Pendapat tersebut mendapat bantahan dari pihak elit keraton Surakarta, yang berpendapat kalau Ronggowarsito adalah peramal ulung, sehingga tidak aneh kalau ia dapat meramal hari kematiannya sendiri.
Istilah Zaman Edan, konon pertama kali diperkenalkan oleh Ronggowarsito dalam Serat Kalatida, yang terdiri atas 12 bait tembang Sinom.
Salah satu bait yang paling terkenal adalah :
- amenangi zaman edan,
- Ewuhaya ing pambudi,
- melu ngedan nora tahan,
- yen tan melu anglakoni,
- boya keduman melik,
- kaliren wekasanipun,
- ndilalah kersa Allah,
- begja-begjaning kang lali,
- luwih begja kang eling klawan waspada.
- menyaksikan zaman gila,
- serba susah dalam bertindak,
- ikut gila tidak akan tahan,
- tapi kalau tidak mengikuti gila,
- tidak akan mendapat bagian,
- kelaparan pada akhirnya,
- namun telah menjadi kehendak Allah,
- sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
- akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.
Syair di atas menurut analisis seorang penulis bernama Ki Sumidi Adisasmito adalah ungkapan kekesalan hati pada masa pemerintahan Pakubuwono IX yang dikelilingi para penjilat yang gemar mencari keuntungan pribadi. Syair tersebut masih relevan hingga zaman modern ini di mana banyak dijumpai para pejabat yang suka mencari keutungan pribadi tanpa mempedulikan kerugian pihak lain.
Karya sastra tulisan Ronggowarsito antara lain :
- Bambang Dwihastha
- Bausastra Kawi
- Sajarah Pandhawa lan Korawa : miturut Mahabharata
- Sapta dharma
- Serat Aji Pamasa
- Serat Candrarini
- Serat Cemporet
- Serat Jaka Lodang
- Serat Jayengbaya
- Serat Kalathida
- Serat Panitisastra
- Serat Pandji Jayeng Tilam
- Serat Paramasastra
- Serat Paramayoga
- Serat Pawarsakan
- Serat Pustaka Raja
- Suluk Saloka Jiwa
- Serat Wedaraga
- Serat Witaradya
- Sri Kresna Barata
- Wirid Hidayat Jati
- Wirid Ma'lumat Jati
- Serat Sabda Jati
Ramalan tentang kemerdekaan Indonesia
Ranggawarsita hidup pada masa penjajahan Belanda. Ia menyaksikan sendiri bagaimana penderitaan rakyat Jawa, terutama ketika program Tanam Paksa dijalankan pasca Perang Diponegoro. Dalam suasana serba memprihatinkan itu, Ranggawarsita meramalkan datangnya kemerdekaan, yaitu kelak pada tahun Wiku Sapta Ngesthi Janma.
Kalimat yang terdiri atas empat kata tersebut terdapat dalam Serat Jaka Lodang dan merupakan kalimat Suryasengkala yang jika ditafsirkan akan diperoleh angka 7-7-8-1. Pembacaan Suryasengkala dibalik dari belakang ke depan, yaitu 1877 Saka, yang bertepatan dengan 1945 Masehi, yaitu tahun kemerdekan Republik Indonesia.
Pengalaman pribadi Bung Karno pada masa penjajahan adalah ketika berjumpa dengan para petani miskin yang tetap bersemangat di dalam penderitaan, karena mereka yakin pada kebenaran ramalan Ranggawarsita tentang datangnya kemerdekaan di kemudian hari.
No comments:
Post a Comment