Benang Merah

Untuk Bisnis silahkan menghubungi Kami di 081213085882

Monday, February 17, 2020

Serat Centhini


Sampul buku "Ringkasan Centini (Suluk Tambanglaras) karya R.M.A. Sumahatmaka terbitan Balai Pustaka. 

Serat Centhini atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. 

Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, agar tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu. 

Serat Centhini disampaikan dalam bentuk tembang dan penulisannya dikelompokkan menurut jenis lagunya. 

Menurut keterangan R.M.A Sumahatmaka, juru tulis resmi istana Mangkunegaran pada masa pemerintahan Mangkunegara VII, Serat Centhini digubah atas kehendak Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, putra Sunan Pakubuwana IV, yang kelak bertahta sebagai Sunan Pakubuwana V. 

Sangkala Serat Centhini, yang nama lengkapnya adalah Suluk Tambangraras, berbunyi paksa suci sabda ji yang berarti tahun 1742 tahun Jawa atau 1814 Masehi, dalam masa pemerintahan Sunan Pakubuwana IV, atau enam tahun menjelang dinobatkannya Sunan Pakubuwana V. 

Menurut catatan tentang naik tahtanya para Raja, Pakubuwana IV mulai bertahta pada tahun 1741 (Jawa) 

sedangkan Pakubuwana V mulai bertahta pada tahun 1748 (Jawa)

Yang dijadikan sumber dari Serat Centhini adalah kitab Jatiswara, yang bersangkala jati tunggal swara raja, yang menunjukkan angka 1711 (tahun Jawa) di zaman pemerintahan Sunan Pakubuwana III. 

Tidak diketahui siapa yang mengarang Kitab Jatiswara. Bila dianggap pengarangnya adalah R. Ng. Yasadipura I, maka akan terlihat meragukan karena terdapat banyak selisihnya dengan Kitab Rama atau Cemporet. 

Atas kehendak Sunan Pakubuwana V, gubahan Suluk Tambangraras atau Centhini ini dimanfaatkan untuk menghimpun segala macam pengetahuan lahir dan batin masyarakat Jawa pada masa itu yang termasuk di dalamnya keyakinan dan penghayatan mereka terhadap agama. 

Pengerjaan dipimpin langsung oleh Pangeran Adipati Anom dan yang mendapatkan tugas membantu mengerjakannya adalah tiga orang pujangga istana : 

  1. Raden Ngabehi Ranggasustrana 
  2. Raden Ngabehi Yasadipura II (sebelumnya bernama Raden Ngabehi Ranggawarsita I)
  3. Raden Ngabehi Sastradipura 

Sebelum dilakukan penggubahan, ketiga pujangga istana mendapat tugas-tugas yang khusus untuk mengumpulkan bahan-bahan pembuatan kitab. 

Ranggasutrasna bertugas menjelajahi pulau Jawa bagian timur, Yasadipura II bertugas menjelajahi Jawa bagian barat, serta Sastradipura bertugas menunaikan ibadah haji dan menyempurnakan pengetahuannya tentang agama Islam. 

Ranggasustrana yang menjelajah pulau Jawa bagian timur, telah kembali terlebih dahulu. Karenanya ia diperintahkan untuk segera memulai mengarang. Dalam prakata dijelaskan tentang kehendak sang putra mahkota, bersangkala Paksa suci sabda ji.

Setelah Ranggasutrasna menyelesaikan jilid satu, datanglah Yasadipura II dari Jawa bagian barat dan Sastradipura (Kyai Haji Muhammad Ilhar) dari Mekkah. 

Jilid dua sampai empat dikerjakan bersama-sama oleh ketiga pujangga istana. Setiap masalah yang berhubungan dengan wilayah barat Jawa, timur Jawa, atau agama Islam, dikerjakan oleh ahlinya masing-masing.

Pangeran Adipati Anom kemudian mengerjakan sendiri jilid lima sampai sepuluh. 

Penyebab Pangeran Adipati Anom mengerjakan sendiri keenam jilid tersebut diperkirakan karena ia kecewa bahwa pengetahuan tentang masalah senggama kurang jelas ungkapannya, sehingga pengetahuan tentang masalah tersebut dianggap tidak sempurna.

Setelah dianggap cukup, maka Pangeran Adipati Anom menyerahkan kembali pengerjaan dua jilid terakhir (jilid sebelas dan dua belas) kepada ketiga pujangga istana tadi. 

Demikianlah akhirnya kitab Suluk Tambangraras atau Centhini tersebut selesai dan jumlah lagu keseluruhannya menjadi 725 lagu. 

Serat Centhini disusun berdasarkan kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya, ipar Sultan Agung dari Mataram. 

Kisah dimulai setelah tiga putra Sunan Giri berpencar meninggalkan tanah mereka untuk melakukan perkelanaan karena kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Mataram. 

Mereka adalah Jayengresmi, Jayengraga/Jayengsari dan seorang putri bernama Ken Rancangkapti.

Jayengresmi, dengan diikuti oleh dua santri bernama Gathak dan Gathuk, melakukan "perjalanan spiritual" ke sekitar keraton Majapahit, Blitat, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojonegoro, hutan Bagor, Gambirlaya, Gunung Padham, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung Salak dan kemudian tiba di Karang.

Gunung Salak 

Dalam perjalanan ini, Jayengresmi mengalami "pendewasaan spiritual" karena bertemu dengan sejumlah guru, tokoh-tokoh gaib dalam mitos Jawa Kuno dan sejumlah juru kunci makam-makam keramat di tanah Jawa. 

Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai dari candi, makna suara burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu berhubungan seksual, perhitungan tanggal, hingga ke kisah Syekh Siti Jenar. 

Pengalaman dan peningkatan kebijaksanaannya ini membuatnya kemudian dikenal dengan sebutan Seh Amongraga. Dalam perjalanan tersebut, Syekh Amongraga berjumpa dengan Ni Ken Tambangraras yang menjadi istrinya, serta pembantunya Ni Centhini yang juga turut serta mendengarkan wejangan-wejangannya.

Jayengsari dan Rancangkapti diiringi santri bernama Buras, berkelana ke Sidacerma, Pasuruan, Ranu Grati, Banyubiru, kaki Gunung Tengger, Malang, Baung, Singhasari, Sanggariti, Tumpang, Kidhal, Pasrepan, Tasari, Gunung Bromo, Ngadisari, Klakah, Kandhangan, Argopuro, Gunung Raung, Banyuwangi, Pekalongan, Gunung Perau, Dieng, sampai ke Sokayasa di kaki Gunung Bisma Banyumas. 

Dalam perjalanan itu mereka berdua mendapatkan pengetahuan mengenai adat-istiadat tanah Jawa, syariat para Nabi, kisah Sri Sadana, pengetahuan wudhu, shalat, pengetahuan Dzat Allah, sifat dan asma-Nya (sifat dua puluh) Hadist Markum, perhitungan slametan orang meninggal, serta perwatakan Pandawa dan Kurawa.

Setelah melalui perkelanaan yang memakan waktu bertahun-tahun, akhirnya ketiga keturunan Sunan Giri tersebut dapat bertemu kembali dan berkumpul bersama para keluarga dan kawulanya, meskipun hal itu tidak berlangsung terlalu lama, karena Syekh Amongraga (Jayengresmi) kemudian melanjutkan perjalanan spiritualnya menuju tingkat yang lebih tinggi lagi, yaitu berpulang dari muka bumi. 

Karya ini boleh dikatakan sebagai ensiklopedi mengenai "dunia dalam" masyarakat Jawa. 

Sebagaimana tercermin dalam bait-bait awal, serat ini ditulis memang dengan ambisi sebagai perangkum baboning pangawikan Jawi, induk pengetahuan Jawa. 

Serat ini meliputi beragam macam hal dalam alam pikiran masyarakat Jawa, seperti persoalan agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris, karawitan dan tari, tata cara membangun rumah, pertanian, primbon (horoskop), makanan dan minuman, adat-istiadat, cerita-cerita kuno mengenai Tanah Jawa dan lain-lainnya. 

Sunan Pakubuwana VII, yang bertahta dari tahun 1757 sampai 1786, berkenan menghadiahkan Suluk Tambanglaras tersebut kepada pemerintah Belanda. Akan tetapi yang diberikan hanya mengambil dari jilid lima sampai sembilan, dengan menambah kata pengantar baru yang dikerjakan oleh R.Ng. Ranggawarsita III. Kitab tersebut bersangkala Tata resi amulang jalma, yang berarti 1775 dan dijadikan delapan jilid, diberi judul Serat Centhini yang terdiri dari 280 lagu. 

Posted by QhubiL at 12:18 AM
Email ThisBlogThis!Share to XShare to FacebookShare to Pinterest

No comments:

Post a Comment

Newer Post Older Post Home
Subscribe to: Post Comments (Atom)

About Me

My photo
QhubiL
View my complete profile

Blog Archive

  • ►  2021 (7)
    • ►  July (1)
    • ►  April (6)
  • ▼  2020 (210)
    • ►  November (1)
    • ►  October (26)
    • ►  September (8)
    • ►  August (42)
    • ►  March (36)
    • ▼  February (35)
      • Ayang-Ayang gung
      • ular besi penyelamat Republik
      • Kisah Horor Mal Klender, Jakarta Timur, pasca keru...
      • Bung Hatta
      • Kotak Pandora
      • Larry Tesler pencipta Copy Paste
      • Terakota
      • Pemberantasan Buta Huruf (PBH)
      • Ibrahim bin Adham
      • Pangeran Diponegoro
      • Ronggowarsito
      • saceundeung
      • Serat Centhini
      • sosial eksperimen
      • Bujangga Manik
      • michat
      • ARUNG PALAKKA, TETE JONKER & SPEELMAN
      • durga
      • Prasasti Calcutta
      • madura
      • trunojoyo
      • Kahuripan
      • Calon Arang
      • airlang
      • KEDIRI
      • peta
      • keker
      • TIMUR DEKAT KUNO
      • Andjing NICA
      • Daftar buku perjalanan
      • Mendez Pinto
      • sejarah PUNK
      • Punk & Komunis
      • MALARI (Malapetaka Limabelas Hari)
      • Sejarah STM 3 BONSER
    • ►  January (62)
  • ►  2019 (1)
    • ►  December (1)
Watermark theme. Powered by Blogger.