
Di Negara Republik Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa hukumnya wajib, karena amanat konstitusi mengatakan bahwa “Pendidikan Menjadi Hak Setiap Warga Negara”
Sebagai konsekuensi dari semua itu, pemerintah punya kewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan dan membuka akses selebar-lebarnya kepada setiap warga negara untuk mendapatkan fasilitas pendidikan tanpa adanya diskriminasi apapun untuk mendapatkannya.
Misi memberantas buta huruf bukan hanya sekedar cara mengajari rakyat bisa membaca dan menulis, bukan pula sekedar untuk mengantarkan rakyat Indonesia dari kegelapan menuju tempat yang terang. Hal lebih penting dari semua itu adalah misi menyempurnakan “kewarganegaraan”
tanpa bisa membaca dan menulis, berarti seseorang tidak menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga negara. seseorang akan sulit bertindak atas nama dirinya dalam politik, karena tidak bisa membaca konstitusi dan memahaminya.
Indonesia pada masa penjajahan Hindia Belanda pernah mengalami kerterpurukan dan kegelapan di bidang pendidikan.
Kartini sebagai pelopor pemberantasan buta huruf untuk Bangsa Indonesia menggambarkan masyarakat kita tak ubahnya seperti hutan rimba yang gelap gulita. beliau menulis surat kepada sahabatnya Estelle Zeehendelaar “duh, sekarang aku mengerti, mengapa orang begitu menentang keterpelajaran orang Jawa. Kalau orang jawa terpelajar, dia tidak akan gampang menjadi pengamin saja, takkan menerima segala macam perintah atasannya lagi”
Sebagai pejuang yang idealis, Ibu Kartini tidak pernah menyerah dengan keadaan dan tradisi yang berlaku pada zamannya. suasana gelap gulita kehidupan, dia terangi dengan lentera ilmu pengetahuan, mengajari kaumnya dengan cara mengajarkan melek huruf dan bisa membaca tanpa henti untuk memajukan pengajaran bagi kaum pribumi. Semangat juang dan pengabdian Kartini, banyak mengilhami para pejuang kemerdekaan Indonesia. maka tidaklah mengherankan bila salah satu tujuan nasional dari Kemerdekaan Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945.
Maka tidaklah mengherankan bila di awal pemerintahan Presiden Soekarno, begitu Proklamasi Kemerdekaan baru usai dikumandangkan, pemerintahan Soekarno tidak hanya menyerukan mengangkat senjata melawan kolonialisme Belanda, tetapi juga memerintahkan menenteng pena dan buku untuk memberantas buta huruf di kalangan rakyat Indonesia.
Pada tanggal 14 Maret 1948, Presiden Soekarno mencanangkan Pemberantasan Buta Huruf (PBH)
Dalam suasana perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Bung Karno mengatakan “Bukan saja kita menang di medan perang, tetapi juga dalam hal memberantas buta huruf kita"
Dalam suasana kecamuk perang, pemerintah Soekarno masih sempat menyelenggarakan kursus PBH di 18.663 tempat, yang melibatkan 17.822 orang guru dan 761.483 orang murid. Sedangkan yang digelar secara independen berjumlah 881 tempat dengan 515 orang guru dan 33.626 murid.
Pada tahun 1960, Bung Karno kembali mengeluarkan komado, Indonesia harus terbebas dari buta huruf hingga tahun 1964. Seluruh rakyat pun dimobilisasi untuk mensukseskan ambisi tersebut. Banyak orang yang pandai baca tulis, dikerahkan untuk mengajar secara sukarela. Organisasi masa banyak dilibatkan untuk mensukseskan program luhur ini. Hasilnya sungguh menakjubkan, pada tanggal 31 Desember 1964, semua penduduk Indonesia usia 13-45 tahun (kecuali yang ada di Irian Barat) dinyatakan bebas buta huruf.
Dari hasil program pemerintahan Soekarno, ada dua yang perlu dicatat.
1. Adanya komitmen kuat pemerintahan saat itu untuk menempatkan pemberantasan buta huruf sebagai bagian dari perjuangan nasional yang tidak boleh dikesampingkan.
2. Adanya proses pelibatan dan mobilisasi rakyat dalam mensukseskan pemberantasan buta huruf.
No comments:
Post a Comment