Moriyama tidak menjelaskan siapa nama anak Moesa itu. Juga tidak menampilkan bentuk persaingannya dengan Ki Mas Tanoe itu seperti apa. Tapi dari lirik kawih itu, kita bisa tahu, Tanoe ini digambarkan sebagai penjilat (toekang olo-olo) makanya banyak orang yang tidak suka (loba anoe giroek) dekat dengan otoritas kolonial Belanda (roeket ka koempeni, penggunaan 'kompeni' untuk menyebut pemerintah kolonial Belanda, padahal Kompeni (VOC) sendiri sudah bangkrut jelang akhir abad 18)
Tanoe juga disebut sebagai ambisius (niat djadi pangkat) tetapi akhirnya kebusukannya dipahami umum (katon kagorengan)
Lirik akhir, kurang lebih dimaknai bahwa Tanoe menunggu kedatangan Bupati (ngantos Kandjeng Dalem) dan tidak perlu repot-repot untuk maju (lempa lempi lempong) sudah tua (ngadoe pipi djeung noe ompong)

Teks “Ayang ayang gung” pada artikel Soendasche Kinderliederen En Spelen, majalah tiga mingguan “Djawa” Java-Instituut, edisi No.1 Januari-April 1921.
Ada versi lain tentang latar belakang kawih itu. Versi ini tidak menyebutkan siapa penggubah kawih itu, tetapi isi sindirannya itu dimaksudkan untuk "Tanoe" dari Kampung Baru, nama untuk wilayah Bogor di masa VOC masih berkuasa.
Jauh sebelum Moriyama menulis, ada artikel berjudul, Soendasche Kinderliederen En Spelen (Lagu-lagu dan Permainan Anak-anak Sunda) dalam majalah tiga mingguan “Djawa” Java-Instituut, edisi No.1 Januari-April 1921.
Munculnya versi lain, bisa jadi menandakan harapan Moesa terkabul, kawihnya telah sampai ke tatar Sunda bagian barat.
Kisah kawih "Ayang ayang gung" tidak berhenti di sana.
Pada tahun 1919, Eerst Congres voor de Taal-, Land-, en Volkenkunde van Java (Kongres pertama Bahasa, Geografi dan Etnografi Jawa)
Dalam kongres itu, R. Poeradiredja, ketua redaksi untuk bahasa Sunda, di kantor Volkslectuur (Balai Pustaka) dan M. Soerijadiradja, ketua guru bahasa Sunda dan Melayu di Opleidingsschool (sekolah pelatihan) di Serang, dapat menjadi pilihan lain.
Tapi mereka yang mengatakan itu adalah puisi yang dikarang oleh pengarangnya untuk mengejek Moesa yang dianggap sudah melampaui batas.
Puisi tersebut dinyanyikan di Kongres itu.
Moesa yang meninggal tahun 1886, tidak akan terlihat kawih yang digubahnya semula untuk menyindir Tanoe, bertentangan dengan Kongres.
Mulai abad ke-20, pamor Moesa mulai menurun. Semasa hidup, Moesa dekat dengan KF Holle, pemilik perkebunan teh sekaligus penasehat pemerintah Kolonial Hindia-Belanda untuk urusan pribumi.
Moesa menjadi partnernya dalam memberikan nasehat-nasehat kepada pemerintah Hindia-Belanda. Kedekatan mereka tidak hanya dalam urusan pekerjaan, tetapi juga urusan pribadi. Moesa saat meninggal ada di pangkuan Holle.
Meski punya pamor dalam bidang kesusastraan Sunda, tetapi dengan jabatan HoofdPenghoeloe, Moesa dianggap oportunis dan negosiasius.
Moriyama menulis, fakta menunjukkan sebagian besar Belanda melihat tentang aib. Beredar rumor tentang pemerintah kolonial telah memberikan ganjaran atas pelayannya yang setia pada banyak hal. antara lain, sampai tujuh turunannya menjadi bupati, termasuk RAA Moesa Soeria Kartalegawa, Bupati Garut terakhir (sebelum Jepang datang)
RAA Moesa Soeria Kartalegawa, inilah yang kemudian memilih NICA, yang terkait dengan Negara Pasundan, sesuai dengan permintaan perwakilan republiken semasa negosiasi.
Kawih "Ayang ayang gung" memang mengena di hati orang Sunda. Namun, entah kenapa kawih ini akhirnya menjadi pengiring kaulinan barudak (permainan anak-anak) di tanah Sunda.
Seperti yang telah ditulis di atas, pada tahun 1920, kawih "Ayang ayang gung" telah disebut sebagai lagu dalam permainan anak-anak Sunda.

Empat jilid buku "Roesdi Djeung Misnem" (Telaah atas ilustrasi buku Roesdi djeung Misnem sebagai bacaan murid-murid Sekolah Rakyat di Jawa Barat sebelum Perang Dunia II, HW Setiawan, dkk, ITB J. Vis. Art. Vol.1 D, No.3, 2007)
Rusdi, tokoh dalam Roesdi Djeung Misnem, buku anak-anak Sunda legendaris yang menjadi bacaan wajib di masa kolonial, sudah menyanyikan kawih itu.
Buku itu diterbitkan pertama kali pada tahun 1911.
Pada jilid pertama, Roesdi Djeung Misnem, diceritakan setelah berputar di tepi sungai yang tiba-tiba tiba arusnya membesar, Rusdi dan teman-temannya kemudian muncul. Mereka berjalan ayang-ayang gung (sambil meletakkan pundak teman di tempat diambil) sambil mendendangkan kawih itu.
No comments:
Post a Comment