Saturday, February 29, 2020

Ayang-Ayang gung

AlkisahHoofdPenghoeloe (Kepala Penghulu) Limbangan (Garoet), Rd. Hadji Moehamad Moesa, memenangkan karir yang akan dikalahkan oleh salah satu lawan politiknya, kepala distrik (Wedana) Soetji, seorang lelaki bernama “Tanoe” 
Moesa yang memang dikenal juga sebagai seorang sastrawan Sunda, kemudian menggubah sebuah lagu (kawih
Dalam kawih itu, kemampuan Tanoe dipertanyakan, kelicikannya diejek. 
Dan mengerti rumor yang bisa menjadi senjata tajam, maka ia mengembalikan agar lagu itu menjadi lebih dikenal luas. 
Alhasil, seantero tanah Sunda akhirnya mengenal kawih "Ayang ayang gung

ayang ayang gung

Teks “Ayang ayanggung” versi Poeradiredja, Moriyama (2013) 

Moriyama tidak menjelaskan siapa nama anak Moesa itu. Juga tidak menampilkan bentuk persaingannya dengan Ki Mas Tanoe itu seperti apa. Tapi dari lirik kawih itu, kita bisa tahu, Tanoe ini digambarkan sebagai penjilat (toekang olo-olo) makanya banyak orang yang tidak suka (loba anoe giroek) dekat dengan otoritas kolonial Belanda (roeket ka koempeni, penggunaan 'kompeni' untuk menyebut pemerintah kolonial Belanda, padahal Kompeni (VOC) sendiri sudah bangkrut jelang akhir abad 18) 

Tanoe juga disebut sebagai ambisius (niat djadi pangkat) tetapi akhirnya kebusukannya dipahami umum (katon kagorengan

Lirik akhir, kurang lebih dimaknai bahwa Tanoe menunggu kedatangan Bupati (ngantos Kandjeng Dalem) dan tidak perlu repot-repot untuk maju (lempa lempi lempong) sudah tua (ngadoe pipi djeung noe ompong


Java Tijd Ayang2gung

Teks “Ayang ayang gung” pada artikel Soendasche Kinderliederen En Spelen, majalah tiga mingguan “Djawa” Java-Instituut, edisi No.1 Januari-April 1921. 

Ada versi lain tentang latar belakang kawih itu. Versi ini tidak menyebutkan siapa penggubah kawih itu, tetapi isi sindirannya itu dimaksudkan untuk "Tanoe" dari Kampung Baru, nama untuk wilayah Bogor di masa VOC masih berkuasa. 

Jauh sebelum Moriyama menulis, ada artikel berjudul, Soendasche Kinderliederen En Spelen (Lagu-lagu dan Permainan Anak-anak Sunda) dalam majalah tiga mingguan “Djawa” Java-Instituut, edisi No.1 Januari-April 1921. 

Munculnya versi lain, bisa jadi menandakan harapan Moesa terkabul, kawihnya telah sampai ke tatar Sunda bagian barat. 

Kisah kawih "Ayang ayang gung" tidak berhenti di sana. 

Pada tahun 1919, Eerst Congres voor de Taal-, Land-, en Volkenkunde van Java (Kongres pertama Bahasa, Geografi dan Etnografi Jawa) 

Dalam kongres itu, R. Poeradiredja, ketua redaksi untuk bahasa Sunda, di kantor Volkslectuur (Balai Pustaka) dan M. Soerijadiradja, ketua guru bahasa Sunda dan Melayu di Opleidingsschool (sekolah pelatihan) di Serang, dapat menjadi pilihan lain. 

Tapi mereka yang mengatakan itu adalah puisi yang dikarang oleh pengarangnya untuk mengejek Moesa yang dianggap sudah melampaui batas. 

Puisi tersebut dinyanyikan di Kongres itu.

Moesa yang meninggal tahun 1886, tidak akan terlihat kawih yang digubahnya semula untuk menyindir Tanoe, bertentangan dengan Kongres. 

Foto RH Moehamad Moesa, koleksi keluarga.  Sumber: Semangat Baru (2013)

Foto RH Moehamad Moesa, koleksi keluarga. Sumber Moriyama (2013)

Mulai abad ke-20, pamor Moesa mulai menurun. Semasa hidup, Moesa dekat dengan KF Holle, pemilik perkebunan teh sekaligus penasehat pemerintah Kolonial Hindia-Belanda untuk urusan pribumi. 

Moesa menjadi partnernya dalam memberikan nasehat-nasehat kepada pemerintah Hindia-Belanda. Kedekatan mereka tidak hanya dalam urusan pekerjaan, tetapi juga urusan pribadi. Moesa saat meninggal ada di pangkuan Holle.

Meski punya pamor dalam bidang kesusastraan Sunda, tetapi dengan jabatan HoofdPenghoeloe, Moesa dianggap oportunis dan negosiasius. 

Moriyama menulis, fakta menunjukkan sebagian besar Belanda melihat tentang aib. Beredar rumor tentang pemerintah kolonial telah memberikan ganjaran atas pelayannya yang setia pada banyak hal. antara lain, sampai tujuh turunannya menjadi bupati, termasuk RAA Moesa Soeria Kartalegawa, Bupati Garut terakhir (sebelum Jepang datang) 

RAA Moesa Soeria Kartalegawa, inilah yang kemudian memilih NICA, yang terkait dengan Negara Pasundan, sesuai dengan permintaan perwakilan republiken semasa negosiasi. 

Kawih "Ayang ayang gung" memang mengena di hati orang Sunda. Namun, entah kenapa kawih ini akhirnya menjadi pengiring kaulinan barudak (permainan anak-anak) di tanah Sunda. 

Seperti yang telah ditulis di atas, pada tahun 1920, kawih "Ayang ayang gung" telah disebut sebagai lagu dalam permainan anak-anak Sunda. 

Salinan-buku-rusdi-11-267x300

Empat jilid buku "Roesdi Djeung Misnem" (Telaah atas ilustrasi buku Roesdi djeung Misnem sebagai bacaan murid-murid Sekolah Rakyat di Jawa Barat sebelum Perang Dunia II, HW Setiawan, dkk, ITB J. Vis. Art. Vol.1 D, No.3, 2007)

Rusdi, tokoh dalam Roesdi Djeung Misnem, buku anak-anak Sunda legendaris yang menjadi bacaan wajib di masa kolonial, sudah menyanyikan kawih itu. 

Buku itu diterbitkan pertama kali pada tahun 1911. 

Pada jilid pertama, Roesdi Djeung Misnem, diceritakan setelah berputar di tepi sungai yang tiba-tiba tiba arusnya membesar, Rusdi dan teman-temannya kemudian muncul. Mereka berjalan ayang-ayang gung (sambil meletakkan pundak teman di tempat diambil) sambil mendendangkan kawih itu. 

ular besi penyelamat Republik


Pada akhir 1945, situasi Jakarta sangat kacau. Netherlands Indies Civil Administration (NICA) kembali membuka kantor dibawah kendali HJ van Mook. Penculikan dan upaya pembunuhan terhadap sejumlah pemimpin Republik yang baru seumur jagung kerap terjadi. Mobil Perdana Menteri Sutan Sjahrir, pada 26 Desember 1945 dikejar segerombolan orang bersenjata yang menggunakan truk. Sjahrir nyaris saja terbunuh. Beruntung Polisi Militer Inggris yang sedang berpatroli datang menyelamatkan.

Dua hari setelah itu, giliran Menteri Keamanan Rakyat, Amir Sjarifuddin, yang dicegat. Amir yang dalam perjalanan menuju rumah Bung Karno, ditembak di depan Sekolah Tinggi Guru (sekarang Sekoah Tinggi Teologi Jakarta) 
Peluru meleset dan hanya mengenai mobil. Sebulan sebelumnya Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Mohammad Roem, tertembak di bagian paha kiri.

Situasi Jakarta yang semakin memburuk dan tidak menentu, membuat Presiden Soekarno menggelar rapat terbatas pada 1 Januari 1946 malam di kediamannya, Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta. Sejarawan dari Yayasan Bung Karno, Rushdy Hoesein, menyebut rapat tersebut diadakan untuk menyikapi kelanjutan Indonesia setelah Jakarta kemungkinan besar akan jatuh ke tangan NICA. Muncul usulan agar petinggi negara diboyong ke daerah lain dan mengendalikan negara dari daerah itu. Daerah yang menjadi alternatif adalah Yogyakarta.

Masyarakat di dekat lintasan kereta api di belakang kediaman Presiden Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56. 

"Rapat malam itu memutuskan semua pejabat negara harus meninggalkan Jakarta. Sebelumnya memang Sri Sultan Hamengkubuwono IX pernah mengirim utusan ke Jakarta. Utusan ini membawa surat untuk Presiden Soekarno yang berisi saran agar ibukota dipindahkan ke Yogyakarta" 

Usulan untuk memindahkan ibukota ke Yogyakarta disetujui peserta rapat. Lalu direncanakan perpindahan ke Yogyakarta pada 3 Januari 1946 malam. Soekarno berpesan agar para pejabat negara yang ikut tidak membawa bekal apapun. Namun transportasi apa yang digunakan belum disepakati. Sebab jika rencana ini bocor dan diketahui NICA, seluruh pejabat negara kemungkinan akan disergap dan dibunuh.

Akhirnya Kepala Eksploitasi Barat, Sugandi, dipanggil Bung Karno. Bung Karno meminta Sugandi mempersiapkan sebuah perjalanan paling bersejarah. Setelah berdiskusi, diputuskan perjalanan tersebut menggunakan ular besi alias kereta api. Esok harinya Sugandi bersama kawan-kawannya dari unit Balai Jasa Manggarai menyiapkan delapan gerbong khusus. "Para pegawai kereta api dikenal sigap membantu perjuangan dalam masa revolusi" 
Untuk memuluskan perjalanan, Dipo Lokomotif Stasiun Jatinegara menyiapkan Lokomotif C28-49. Lokomotif buatan Jerman ini yang terbaik masa itu. Mampu melaju dengan kecepatan 120 kilometer perjam. Djawatan Kereta Api juga diminta menyiapkan dua gerbong kereta khusus yaitu KA IL7 dan IL8 untuk presiden dan wakil bersama keluarganya. Kelak gerbong khusus itu berganti nama menjadi Kereta Luar Biasa (KLB)

Tepat tanggal 3 Januari, para pegawai kereta api mulai mengelabui sejumlah tentara Belanda yang berjaga dekat Stasiun Manggarai. Sejak siang hari, mereka melangsir beberapa kereta. Pada pukul enam sore, Lokomotif C28-49 dengan masinis Hoesein yang dibantu oleh stoker (juru api) Moertado dan Soead bergerak dari Stasiun Jatinegara menuju Stasiun Manggarai. Gerbong-gerbong yang sebelumnya ada di jalur tiga, lalu dipindah ke jalur lima untuk mengelabui tentara Belanda. Setelah lokomotif dan gerbong menyatu, kereta pun berjalan mundur dari Stasiun Manggarai menuju jalur arah Stasiun Cikini. Semua lampu gerbong dimatikan dan jendelanya ditutup. Kereta lalu berhenti di dekat rumah Presiden Soekarno. Soekarno, Hatta dan sejumlah menteri yang sudah menunggu, kemudian mengendap-endap menuju gerbong. Ikut diangkut kereta itu, dua buah mobil kepresidenan, Buick 7 seat bercat hitam dan de Soto bercat kuning. Tidak ada yang boleh bersuara saat itu. Semua dilakukan secara hati-hati. Bahkan menyalakan rokok saja tidak boleh. 

Perjalanan pun dimulai. Kereta pembawa rombongan ini berjalan lambat. Kecepatan awalnya hanya 5 km/jam. Setelah lewat Stasiun Jatinegara, kecepatan mulai ditambah. Lampu akhirnya dihidupkan ketika rombongan sudah melalui Stasiun Bekasi. Rombongan presiden tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta pada 4 Januari 1946 pagi, disambut Sultan Hamengkubuwono IX, Sri Paku Alam VII dan rakyat Yogyakarta. Usai upacara penerimaan di Stasiun Tugu, rombongan menuju Pura Pakualaman, istana Sri Paku Alam.

Setelah istana siap, Bung Karno dan keluarga meninggalkan Pakualaman dan pindah ke bekas rumah gubernur Belanda di jalan Malioboro, persis di depan Benteng Vredeburg. Bung Karno sempat berpidato di RRI Yogyakarta untuk mengumumkan ke seluruh dunia. 

Maulwi Saelan, mantan Wakil Komandan Tjakrabirawa (pasukan pengawal presiden di era Soekarno) mengenang saat itu Soekarno, Fatmawati, Guntur dan Hatta dikawal 13 polisi pengawal presiden. Diantaranya Soekasah, yang kemudian menjadi Duta Besar di Arab Saudi. Winarso yang selanjutnya menjabat Kepala Kepolisan Daerah Jawa Tengah dan Mangil Martowidjojo (Komandan Detasemen Kawal Pribadi Tjakrabirawa) Mereka bersenjata rangkap, senjata laras panjang M-95 dan revolver. "Kelak momentum mengawal presiden hijrah ke Yogyakarta dijadikan sebagai Hari Bhakti Paspampres" ujar Mangil, seperti tertulis dalam buku 'Maulwi Saelan, Penjaga Terakhir Soekarno' 
Lokomotif yang disandingkan dengan rangkaian gerbong Kereta Luar Biasa yang pernah ditumpangi Presiden Soekarno. 

Bung Karno pernah menulis "Formasi kereta api yang dinamakan KLB ini, mechanis technis dan personil technis adalah salah satu formasi yang bersejarah. Dengan formasi ini, saya meninggalkan Jakarta dengan cara rahasia, memindahkan pemerintahan Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta dan sejak itu formasi KLB ini masih sering menjalankan tugas-tugas yang penting bagi presiden. Saya bangga dengan KLB ini" 

Gerbong-gerbong bersejarah itu kini tersimpan di Museum Transportasi Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta. Sayangnya Lokomotif C28-49 belum diketemukan. Dari 58 lokomotif C28, yang digunakan Djawatan Kereta Api, saat ini hanya tersisa 1 buah, yaitu C28 21 buatan pabrik Henschel. 

Putri sulung Bung Hatta, Meutia Farida Hatta, mengenang dirinya dilahirkan saat dalam pengungsian ke Yogyakarta. Meutia menyebut bahwa ayahnya pernah menuturkan peristiwa pengungsian itu berlangsung amat menegangkan. Sekarang rel di belakang rumah Bung Karno itu sudah tidak ada karena sudah dipindahkan ke atas. 

Yang patut disayangkan adalah lok C28 49 yang menjadi penarik kereta bersejarah ini sudah musnah karena dijagal/dikilokan. Dari 58 unit loko C28, hanya tersisa lok C28 21 di Ambarawa. 

Kisah Horor Mal Klender, Jakarta Timur, pasca kerusuhan Mei 98


Saat tragedi Kerusuhan Mei 1998 terjadi di Jakarta, banyak sekali Mal yang menjadi sasaran. Salah satunya adalah Mal Klender yang terletak di Jakarta Timur. Saat ini Mal ini sudah berganti nama menjadi Mal Citra.

Mal Klender menjadi salah satu sasaran pembakaran. Diduga kuat pembakaran ini disengaja untuk menciptakan kondisi agar lebih chaos.

Terbakarnya Mal Klender adalah puncak ketidakpuasan massa atas krisis ekonomi. Insiden itu terjadi sepekan setelah pemerintah Indonesia mengumumkan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak menjadi Rp1200 per liter. Spiral kekerasan muncul di seantero Jakarta. Penjarahan toko-toko milik etnis Tionghoa mulai terjadi pada 13 Mei 1998, ketika empat mahasiswa Universitas Trisaksi ditembak aparat di depan kampus. Penembakan aktivis, membakar amarah massa, yang ganti menumpahkan kemarahan pada toko-toko milik etnis Tionghoa yang dituding bertanggung jawab atas krisis ekonomi.

Pada puncak kerusuhan, ribuan toko memasang tulisan 'milik pribumi' agar selamat dari amukan massa. Kawasan elit seperti Menteng dijaga tank-tank tentara. Namun bagi penduduk Tionghoa di pusat perdagangan seperti Glodok, mereka harus mengandalkan diri sendiri. Hasilnya berakhir tragis dengan pembantaian dan pembakaran besar-besaran.
Tetapi yang mengerikan adalah ketika pembakaran dilakukan masih ada pengunjung dan karyawan yang terperangkap di dalamnya. Konon korban yang terbakar hampir 450 orang. Jadi tidak heran jika Mal ini menjadi penuh dengan cerita mistis.

Sekarang setelah lebih dari 20 tahun berlalu, Mal ini tetap menyisakan cerita hantu dan rasa angker bagi orang Jakarta, terutama masyarakat sekitar. Banyak sekali cerita hantu yang beredar. Contohnya beberapa hari setelah peristiwa pembakaran, penduduk sekitar masih mendengar suara tangisan dan teriakan orang minta tolong secara sayup-sayup dari dalam gedung. Padahal gedung itu jelas-jelas sudah kosong setelah peristiwa pembakaran.

Tidak hanya itu. Ketika sudah beroperasi kembali, terkadang beberapa pedagang juga mengakui mencium bau-bau anyir seperti mayat atau bau yang tidak jelas.

Kisah-kisah nyata hantu juga beredar luas.  Misalnya, cerita seorang ayah dan anak yang baru tiba dari Magelang ingin menuju rumah kontrakan baru mereka di perumahan Klender. Saat itu tahun 2000, atau dua tahun setelah tragedi Mei. Ayah dan anak itu tiba di terminal Pulo Gadung pada pukul dua pagi.

Sekedar info, pada saat tahun 2000, Jakarta belum seramai saat ini. Mereka naik metromini dan turun di kawasan Kebon Singkong. Setelah melewati berbagai perjalanan, akhirnya mereka sampai di halte untuk menanti angkot menuju Kampung Sumur. Karena bukan orang asli Jakarta, mereka berdua menunggu di halte yang tepat di depan Mal Klender tanpa mengetahui cerita seram di belakangnya.

Beberapa saat mereka duduk, muncul seorang wanita dari arah Mal Klender. Wanita itu duduk begitu saja. Tak selang beberapa lama, sang ayah langsung menarik tangan putranya dan mengajak pergi. sang anak pun penasaran. Ternyata si Ayah melihat wanita itu bukan manusia. Seluruh tubuhnya hitam gosong.

Cerita lainnya mengenai hantu yang menyamar jadi satpam. Saat itu ada seorang satpam yang mendapatkan tugas jaga malam bertiga bersama temannya. Saat tiba waktunya pusat perbelanjaan itu tutup, ketiga petugas jaga ini diwajibkan menyelusuri Mal dari lantai teratas sampai lantai terbawah sebelum pulang. Entah bagaimana ceritanya, sang satpam ini tertinggal oleh kedua temannya yang sudah menuju lantai atas. Tidak ingin tertinggal jauh, dia langsung berlari menyusul. Ditemukanlah salah satu temannya di lantai 3. Mereka pun meyusuri lantai yang konon merupakan lantai dengan jumlah mayat terbakar terbanyak ditemukan. Awalnya dia tidak menyadari kalau ada sesuatu yang tidak beres, sampai beberapa saat kemudian dia pun sadar. Dari tadi, suara gema sepatu yang terdengar hanyalah suara sepatu dia, tidak terdengar sedikitpun suara sepatu dari temannya. Temannya itu tetap berjalan, lalu berbelok di lorong dan hilang dari pandangan. Si satpam melihat situasi mulai tidak benar, berlari mencoba mengejar temannya. Alangkah terkejutnya saat dia berbelok, temannya itu sudah tidak terlihat. Yang ada hanyalah bau yang sangat busuk.

Tanpa pikir panjang, si satpam langsung berlari ke lantai bawah. Betapa kagetnya ketika dia melihat temannya yang beberapa menit lalu menghilang di lantai tiga kini sudah di situ. Lebih anehnya lagi, sang teman bersikeras menyanggah dirinya ikut ke lantai tiga. Dia dari tadi hanya berdiri di lobi sambil menunggu si satpam. 

Bung Hatta

Hatta lahir di kala subuh. Sahabatnya, Soekarno, di waktu fajar. 
Mereka berdua penyambut pagi. 
Pada tahun 1980, Mohammad Hatta meninggal dunia. 
Halida, putri bungsunya, dalam buku "Bung Hatta di Mata Tiga Putrinya" (Penerbit Buku Kompas, 2015) melukiskan bagaimana perasaan sedih teramat dalam atas kepergian ayahnya :
"… Seakan diatur oleh tangan yang lebih kuasa, masa hidupnya bagaikan satu kali putaran matahari. Ayah dilahirkan di kala panggilan sembayang subuh sedang berkumandang di surau-surau di Bukitinggi, dan wafat setelah tenggelamnya matahari, menjelang berakhirnya waktu magrib…”

Iwan Fals, musisi legendaris, menuliskan bait-bait duka dalam lagu yang berjudul "Bung Hatta" 
Pada bagian reffrein, Iwan Fals mendendangkan bait setengah menjerit :

Hujan air mata dari pelosok negeri 
Saat melepas engkau pergi 
Berjuta kepala tertunduk haru 
Terlintas nama seorang sahabat 
Yang tak lepas dari namamu 
Terbayang baktimu 
terbayang jasamu 
Terbayang jelas jiwa sederhanamu

Foto : Halida Hatta
Wakil Presiden, Mohammad Hatta, meninjau salah satu Pekan Buku Indonesia, Tahun 1954. 
Hatta pecinta buku. 
Pembaca buku. 
Koleksi bukunya sangat banyak. 
Saat menikah dengan ibu Rachmi, mahar yang diserahkan kepada sang istri adalah sebuah buku karangan beliau sendiri “Alam Pikiran Yunani” 

Friday, February 21, 2020

Kotak Pandora

Kotak Pandora adalah mitologi Yunani. 
Kotak indah yang diberikan oleh para dewa kepada wanita manusia pertama "Pandora" pada pesta pernikahan Pandora dengan Epimetheus. 
Akan tetapi Pandora dilarang untuk membuka kotak tersebut.
Namun, Pandora amat penasaran dengan isi kotak itu dan ia pun membukanya. 
Ternyata kotak itu berisi segala macam teror dan hal buruk bagi manusia, antara lain masa tua, rasa sakit, kegilaan, wabah penyakit, keserakahan, pencurian, dusta, kedengkian, kelaparan dan berbagai malapetaka lainnya.
Dan dengan terbukanya kotak itu, segala kejahatan pun berhasil bebas dan menjangkiti umat manusia. 
Semua keburukan itu merupakan hukuman dari Zeus atas tindakan pencurian api Olimpus oleh Prometheus.
Pandora amat menyesali perbuatannya. Ketika ia kembali melihat ke dalam kotak, ada satu hal yang masih tersisa di dalam kotak dan tak mampu terbang bebas, hal tersebut adalah harapan. 

Thursday, February 20, 2020

Larry Tesler pencipta Copy Paste

Larry TeslerLarry Tesler

Pengguna komputer tentu sangat dimudahkan dengan fitur copy paste serta cut. 

Siapakah penemu copy paste itu? 

Dia adalah Larry Tesler. 

Tesler mulai bekerja di Silicon Valley pada tahun 1960-an. Kala itu masih sangat sedikit orang yang dapat mengakses komputer.

Larry kemudian banyak berinovasi, termasuk menciptakan komando cut, copy dan paste. Tak terbantahkan fitur tersebut membuat komputer pribadi menjadi makin berguna. 

"Penemu cut/copy & paste dulu adalah mantan periset Xerox. 
"Pekerjaan Anda menjadi lebih mudah berkat idenya yang revolusioner" demikian tribut dari Xerox.

Tesler lahir di Bronx, New York pada 1945. Ia kuliah di kampus bergengsi, Stanford. Setelah lulus, ia menjadi spesialis desain user interface dengan tujuan memudahkan pemakaian komputer.

Dikutip dari BBC, Tesler bekerja di berbagai perusahaan besar. Ia mulai berkarir di Xerox Palo Alto Research Center (Parc)

Steve Jobs kemudian membajaknya, jadilah Tesler bekerja di Apple selama 17 tahun dan menjadi Chief Scientist. Setelah itu, dia membuat startup edukasi dan bekerja singkat di Amazon dan Yahoo.

Cut, copy, paste sendiri dibenamkan di software Apple untuk komputer Lisa pada tahun 1983. Juga di komputer Macintosh original yang rilis setahun kemudian. 

"Setelah menghasilkan uang, anda tidak begitu saja pensiun, anda menghabiskan waktu mendanai perusahaan lain. Ada elemen kesenangan yang sangat kuat untuk membagikan apa yang Anda pelajari ke generasi selanjutnya" kata Tesler mengenai misinya. 

Wednesday, February 19, 2020

Terakota

Terakotaterracottaterra cotta atau terra-cotta (dari bahasa italia berarti "tanah bakar" yang berasal dari bahasa latin terra cocta) adalah tembikar yang terbuat dari tanah liat. Penggunaannya termasuk diantaranya untuk kendi, pipa air dan hiasan permukaan pada konstruksi bangunan dan termasuk diantaranya patung seperti Pasukan Terakota dan arca terakota Yunani. 
Istilah ini juga dipergunakan untuk benda yang terbuat dari materi tersebut dan untuk warna naturalnya coklat dengan sedikit oranye yang sangat bervariasi. 
Pada bidang arkeologi dan sejarah seni, terakota sering dipergunakan untuk benda yang dibuat oleh roda pengrajin tembikar seperti patung, di mana benda tersebut dibuat dari bahan yang sama dan bahkan oleh orang yang sama disebut sebagai tembikar. 

Tanah liat yang halus dibentuk sesuai dengan bentuk yang diinginkan. 

Setelah dikeringkan, karya tersebut diletakkan di dalam tungku atau diatas api terbuka (api unggun) lalu dibakar. 

Temperatur pembakaran sekitar 1000° C. Kandungan besi yang terdapat pada tanah liat membuat karya tersebut berwarna kuning, oranye, merah, merah jambu, abu-abu atau cokelat. 

Terakota yang dibakar tidak menjadikannya tahan air. Tetapi penggosokan pada permukaan sebelum dibakar dapat mengurangi tingkat penyerapannya dan terakota tersebut dapat ditambah dengan glasir untuk membuatnya menjadi kedap air. Hasilnya cocok digunakan untuk membawa air, untuk peralatan perkebunan atau dekorasi bangunan di lingkungan tropis dan untuk wadah penyimpan minyak, lampu minyak atau oven. 

Kebanyakan penggunaan lainnya adalah untuk peralatan makan dan minum, pipa saluran air atau dekorasi bangunan di lingkungan dingin yang membutuhkan bahan-bahan yang diglasir. Terakota jika tidak retak akan berdenging jika dipukul perlahan. Beberapa terakota dibentuk dari dasar yang ditambahkan terakota yang didaur ulang. 

Desain terakota 

Terakota digunakan di sepanjang masa untuk memahat dan membuat wadah dan juga untuk membuat bata dan genteng. 

Pada zaman dahulu, patung tanah liat yang pertama dikeringkan di bawah sinar matahari setelah dibentuk. Kemudian patung tersebut diletakkan di abu dari api unggun untuk memperkeras dan akhirnya mempergunakan tungku seperti yang digunakan pada tembikar pada saat ini. Namun hanya setelah pembakaran menggunakan suhu yang tinggi, bahan ini dapat digolongkan menjadi materi keramik. 

Dekorasi bangunan yang diglasir 

Arca terakota kasar ditemukan oleh para arkeolog pada ekskavasi Mahenjo daro dan Harappa yang merupakan dua situs perkotaan besar pada periode Lembah sungai indus (3000 - 1500 SM) di daerah yang sekarang merupakan bagian dari Pakistan. 

Termasuk dalam benda yang ditemukan diantaranya adalah batu berbentuk phallus yang memberi kesan bahwa terdapat pemujaan terhadap dewa atau dewi kesuburan dan kepercayaan terhadap Dewi Ibu. 

Patung masa pra kolonial Afrika Barat juga terbuat dari terakota. Daerah ini merupakan daerah yang paling terkenal di dunia untuk produksi seni terakota, termasuk diantaranya budaya Nok dari Nigeria tengah dan utara, kebudayaan Benin di bagian barat dan selatan Nigeria, kebudayaan igbo di daerah timur Nigeria. 

Dalam ilmu kimia, keping-keping/lembaran terakota digunakan sebagai katalis heterogen untuk memutus alkana rantai-panjang. Proses ini berguna untuk mendapatkan produk-produk yang lebih berguna seperti bensin atau petrol dari bahan yang kurang berguna semisal alkana rantai panjang berkekentalan tinggi. 

Dibandingkan dengan pemahatan dalam perunggu, terakota memakai cara yang jauh lebih sederhana untuk menghasilkan karya dengan biaya yang jauh lebih rendah. Teknik penggunaan cetakan yang dipakai kembali dapat dipergunakan untuk rangkaian kegiatan produksi. Jika dibandingkan dengan patung marmer dan hasil karya batu lainnya, hasil karya yang telah selesai, jauh lebih ringan dan dapat diglasir untuk menghasilkan produk dengan warna atau ketahanan yag lebih baik. 

Warna terakota adalah antara jingga dan coklat. 

Pemberantasan Buta Huruf (PBH)



Di Negara Republik Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa hukumnya wajib, karena amanat konstitusi mengatakan bahwa “Pendidikan Menjadi Hak Setiap Warga Negara” 

Sebagai konsekuensi dari semua itu, pemerintah punya kewajiban untuk menyelenggarakan sistem pendidikan dan membuka akses selebar-lebarnya kepada setiap warga negara untuk mendapatkan fasilitas pendidikan tanpa adanya diskriminasi apapun untuk mendapatkannya. 

Misi memberantas buta huruf bukan hanya sekedar cara mengajari rakyat bisa membaca dan menulis, bukan pula sekedar untuk mengantarkan rakyat Indonesia dari kegelapan menuju tempat yang terang. Hal lebih penting dari semua itu adalah misi menyempurnakan “kewarganegaraan” 

tanpa bisa membaca dan menulis, berarti seseorang tidak menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga negara. seseorang akan sulit bertindak atas nama dirinya dalam politik, karena tidak bisa membaca konstitusi dan memahaminya. 

Indonesia pada masa penjajahan Hindia Belanda pernah mengalami kerterpurukan dan kegelapan di bidang pendidikan. 

Kartini sebagai pelopor pemberantasan buta huruf untuk Bangsa Indonesia menggambarkan masyarakat kita tak ubahnya seperti hutan rimba yang gelap gulita. beliau menulis surat kepada sahabatnya Estelle Zeehendelaar “duh, sekarang aku mengerti, mengapa orang begitu menentang keterpelajaran orang Jawa. Kalau orang jawa terpelajar, dia tidak akan gampang menjadi pengamin saja, takkan menerima segala macam perintah atasannya lagi” 

Sebagai pejuang yang idealis, Ibu Kartini tidak pernah menyerah dengan keadaan dan tradisi yang berlaku pada zamannya. suasana gelap gulita kehidupan, dia terangi dengan lentera ilmu pengetahuan, mengajari kaumnya dengan cara mengajarkan melek huruf dan bisa membaca tanpa henti untuk memajukan pengajaran bagi kaum pribumi. Semangat juang dan pengabdian Kartini, banyak mengilhami para pejuang kemerdekaan Indonesia. maka tidaklah mengherankan bila salah satu tujuan nasional dari Kemerdekaan Indonesia yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945. 

Maka tidaklah mengherankan bila di awal pemerintahan Presiden Soekarno, begitu Proklamasi Kemerdekaan baru usai dikumandangkan, pemerintahan Soekarno tidak hanya menyerukan mengangkat senjata melawan kolonialisme Belanda, tetapi juga memerintahkan menenteng pena dan buku untuk memberantas buta huruf di kalangan rakyat Indonesia. 

Pada tanggal 14 Maret 1948, Presiden Soekarno mencanangkan Pemberantasan Buta Huruf (PBH) 

Dalam suasana perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Bung Karno mengatakan “Bukan saja kita menang di medan perang, tetapi juga dalam hal memberantas buta huruf kita" 

Dalam suasana kecamuk perang, pemerintah Soekarno masih sempat menyelenggarakan kursus PBH di 18.663 tempat, yang melibatkan 17.822 orang guru dan 761.483 orang murid. Sedangkan yang digelar secara independen berjumlah 881 tempat dengan 515 orang guru dan 33.626 murid. 

Pada tahun 1960, Bung Karno kembali mengeluarkan komado, Indonesia harus terbebas dari buta huruf hingga tahun 1964. Seluruh rakyat pun dimobilisasi untuk mensukseskan ambisi tersebut. Banyak orang yang pandai baca tulis, dikerahkan untuk mengajar secara sukarela. Organisasi masa banyak dilibatkan untuk mensukseskan program luhur ini. Hasilnya sungguh menakjubkan, pada tanggal 31 Desember 1964, semua penduduk Indonesia usia 13-45 tahun (kecuali yang ada di Irian Barat) dinyatakan bebas buta huruf. 

Dari hasil program pemerintahan Soekarno, ada dua yang perlu dicatat. 

1. Adanya komitmen kuat pemerintahan saat itu untuk menempatkan pemberantasan buta huruf sebagai bagian dari perjuangan nasional yang tidak boleh dikesampingkan. 

2. Adanya proses pelibatan dan mobilisasi rakyat dalam mensukseskan pemberantasan buta huruf. 

Tuesday, February 18, 2020

Ibrahim bin Adham

Syech Ibrahim bin Adham RA.
Beliau adalah seorang ulama yang lahir di Balkh dari keluarga bangsawan Arab. 
Dalam sejarah sufi, Beliau disebutkan sebagai seorang penguasa yang meninggalkan kerajaannya, lalu mengembara ke arah Barat untuk menjalani hidup bersendirian yang sempurna sambil mencari nafkah melalui kerja kasar yang halal hingga Beliau meninggal dunia di negeri Persia kira-kira tahun 165H/782M.

Beberapa sumber mengatakan bahwa Beliau terbunuh ketika mengikuti angkatan laut yang menyerang Bizantium. 

Kisah taubatnya merupakan sebuah kisah yang unik dalam kehidupan kaum muslimin.

Syahdan, awalnya Ibrahim bin Adham adalah seorang penguasa di Balkh dan memiliki daerah kekuasaan yang sangat luas. 
Kemanapun beliau pergi, empat puluh buah pedang emas dan empat puluh buah tongkat kebesaran emas diusung di depan dan di belakangnya.

Pada suatu malam ketika ia tertidur di bilik istananya, atas bilik itu berderak-derik seolah-olah ada seseorang yang sedang berjalan di atas atap. 
Beliau terjaga dan berseru

“Siapakah itu?”

“Sahabatmu. Untaku hilang dan aku sedang mencarinya di atas atap ini” terdengar sebuah sahutan.

“Bodoh, engkau handak mencari unta di atas atap?” seru Ibrahim.

“Wahai manusia yang lalai” suara itu menjawab. 
“Apakah engkau hendak mencari Allah dengan berpakaian sutra dan tidur di atas katil emas?” suara itu menjawab.

Kata-kata itu sangat mengecutkan hati Ibrahim. Ia sangat gelisah dan tidak dapat meneruskan tidurnya. 
Ketika hari telah siang, Ibrahim pergi ke ruang tamu dan duduk di atas singgasananya sambil berfikir, risau dan merasa amat bimbang. 
Para menteri berdiri di tempat masing-masing dan hamba-hamba telah berbaris sesuai dengan tingkatan mereka. 
Kemudian dimulailah pertemuan terbuka.

Tiba-tiba seorang lelaki berwajah menakutkan masuk ke dalam ruang tamu itu. Wajahnya begitu menyeramkan sehingga tidak seorang pun di antara anggota-anggota maupun hamba-hamba istana yang berani menanyakan namanya. Semua lidah menjadi kelu. Dengan tenang lelaki tersebut melangkah ke depan singgasana.

“Apakah yang engkau inginkan?” tanya Ibrahim.

“Aku baru saja sampai ke tempat persinggahan ini” jawab lelaki itu.

“Ini bukan tempat persinggahan para kafilah. Ini adalah istanaku. Engkau sudah gila!” Ibrahim menghardiknya.

“Siapakah pemilik istana ini sebelum engkau?” tanya lelaki itu.

“Ayahku” jawab Ibrahim.

“Dan sebelum ayahmu?”

“Kakekku”

“Dan sebelum kakekmu?”

“Ayah dari kakekku”

“Dan sebelum dia?”

“Kakek dari kakekku”

“Ke manakah mereka sekarang ini?” tanya lelaki itu.

“Mereka telah tiada. Mereka telah mati” jawab Ibrahim.

“Jika demikian, bukankah ini tempat persinggahan yang dimasuki oleh seseorang dan ditinggalkan oleh yang lainnya?”

Setelah berkata demikian lelaki itu hilang. Sungguh ada yang mengatakan bahwa orang tersebut adalah Nabi Khidir AS.

Sejak hari itu, kegelisahan dan kerisauan hati Ibrahim semakin menjadi-jadi. 
Ia dihantui oleh bayang-bayangnya sendiri dan terdengar suara-suara di malam hari, kedua-duanya sama merisaukan.

Akhirnya, karena tidak tahan lagi, pada suatu hari Ibrahim berkata.

“Siapkan kudaku! Aku hendak pergi berburu. Aku tidak tahu apakah yang telah terjadi terhadap diriku sejak belakangan ini. Ya Allah, bilakah semua ini akan berakhir?”

Setelah kudanya disiapkan lalu ia berangkat pergi memburu. Kuda itu dipacunya melalui padang pasir, seolah-olah ia tidak sadar akan segala perbuatannya. 
Dalam kerisauan itu ia terpisah dari rombongannya. 
Tiba-tiba terdengar olehnya sebuah seruan.

“Bangunlah!”

Ibrahim pura-pura tidak mendengar seruan itu. Ia terus memacu kudanya. Untuk kali keduanya suara itu berseru kepadanya, namun Ibrahim tetap tidak mempedulikannya. 
Ketika suara itu berseru untuk kali ketiganya, Ibrahim semakin memacu kudanya. 
Akhirnya untuk kali keempat, suara itu berseru “Bangunlah sebelum engkau kupukul!”

Ibrahim tidak dapat mengendalikan dirinya. Di saat itu terlihat olehnya seekor rusa. Ibrahim hendak memburu rusa itu tetapi tiba-tiba binatang itu berkata kepadanya “Aku disuruh untuk memburumu. Engkau tidak dapat menangkapku. Untuk inikah engkau diciptakan atau inikah yang diperintahkan kepadamu?”

“Tuhan, apakah yang menghalang diriku ini?” seru Ibrahim. 

Ia memalingkan wajahnya dari rusa tersebut. Tetapi dari tali pelana kudanya terdengar suara yang menyerukan kata-kata yang serupa, Ibrahim kebingungan dan ketakutan. 
Seruan itu semakin jelas, karena Allah Yang Maha Berkuasa mau menunaikan janji-Nya. Kemudian suara yang serupa berseru lagi dari bajunya. 
Akhirnya sempurnalah seruan Allah itu dan pintu surga terbuka bagi Ibrahim. 
Keyakinan yang teguh telah tertanam di dalam dadanya. 
Ibrahim turun dari tunggangannya. 
Seluruh pakaian dan tubuh kudanya basah oleh cucuran air matanya. 
Dengan sepenuh hati Ibrahim bertaubat kepada Allah.

Ketika Ibrahim menyimpang dari jalan raya, ia melihat seorang gembala yang memakai pakaian dan topi dibuat dari bulu kambing biri-biri. 
Pengembala itu sedang menggembalakan sekumpulan binatang. 
Setelah diamatinya, ternyata si pengembala itu adalah hambanya yang sedang menggembalakan biri-biri kepunyaannya. Kepada pengembala itu Ibrahim menyerahkan pakaian yang bersulam emas, topinya yang bertatahkan batu permata, sedang dari pengembala itu Ibrahim meminta pakaian dan topi dari bulu biri-biri yang sedang dipakainya. 
Ibrahim lalu memakai pakaian dan topi bulu milik pengembala itu dan semua malaikat menyaksikan perbuatannya itu dengan penuh kekaguman.

“Betapa megah kerajaan yang diterima putera Adam ini” malaikat-malaikat itu berkata. 
“Ia telah mencampakkan pakaian keduniaan yang kotor, lalu menggantikannya dengan jubah kepapaan yang megah”

Dengan berjalan kaki, Ibrahim bermusafir melalui gunung-ganang dan padang pasir yang luas sambil menyesali segala dosa-dosa yang pernah dilakukannya. 
Akhirnya ia sampai di Merv. 
Di sini Ibrahim melihat seorang lelaki terjatuh dari sebuah jambatan. 
Pasti ia akan mati dihanyutkan oleh air sungai.
Dari jauh Ibrahim berseru “Ya Allah, selamatkanlah dia!”

Seketika itu juga tubuh lelaki itu berhenti di awang-awang, sehingga orang lain tiba dan menariknya ke atas. 
Dan dengan merasa heran mereka memandang Ibrahim.

“Manusia apakah itu?” seru mereka.

Ibrahim meninggalkan tempat itu dan terus berjalan sampai ke Nishapur. 
Di kota Nishapur, Ibrahim mencari sebuah tempat terpencil di mana ia dapat tekun mengabdikan diri kepada Allah. 
Akhirnya bertemulah ia dengan sebuah gua  yang akan menjadi amat terkenal. 
Di dalam gua itulah Ibrahim menyendiri selama sembilan tahun, tiga tahun pada setiap ruang yang terdapat di dalamnya. Tidak seorang pun yang tahu apakah yang telah dilakukannya baik siang maupun malam di dalam gua itu, karena hanya seorang manusia yang luar biasa gagahnya yang sanggup sendirian di dalam gua itu pada malam hari.

Setiap hari Kamis, Ibrahim memanjat keluar dari gua tersebut untuk mencari kayu api. Keesokan paginya ia pergi ke Nishapur untuk menjual kayu-kayu itu. 
Setelah melakukan solat Jum'at, ia pergi membeli roti dengan uang yang diperolehnya. Roti itu separuhnya diberikan kepada pengemis dan separuhnya lagi untuk membuka puasanya. 
Demikianlah yang dilakukannya setiap minggu.

Pada suatu malam di musim salju, Ibrahim sedang berada di tempat ibadah. 
Malam itu udara sangat dingin dan untuk bersuci Ibrahim harus memecahkan es. Sepanjang malam badannya menggigil, namun ia tetap mengerjakan sholat dan berdoa hingga fajar menyinsing. 
Ia hampir mati kedinginan. 
Tiba-tiba ia teringat pada api. 
Di atas tanah dilihatnya ada sebuah kain bulu. 
Dengan kain bulu itu sebagai selimut, ia pun tertidur. 
Setelah hari terang benderang, barulah ia terjaga dan badannya terasa hangat. 
Tetapi ia segera sadar bahwa yang disangkanya sebagai kain bulu itu adalah seekor naga dengan biji mata berwarna merah darah.

Ibrahim berdoa “Ya Allah, Engkau telah mengirimkan mahkluk ini dalam bentuk yang halus, tetapi sekarang terlihatlah bentuk sebenarnya yang sangat mengerikan. Aku tidak kuat menyaksikannya”

Naga itu segera bergerak dan meninggalkan tempat itu setelah dua atau tiga kali bersujud di depan Ibrahim.

Ketika kemasyhuran kealimannya tersebar luas, Ibrahim meninggalkan gua tersebut dan pergi ke Makkah. 
Di tengah perjalanan, Ibrahim berjumpa dengan tokoh besar agama yang mengajarkan kepadanya Nama Yang Teragung dari Allah, dan setelah itu pergi meninggalkannya. 
Dengan Nama Yang Teragung itu Ibrahim menyeru Allah dan sesaat kemudiaan nampaklah olehnya Nabi Khidir as.

“Ibrahim” kata Nabi Khidir kepadanya.  “Saudaraku Daud yang mengajarkan kepadamu Nama Yang Teragung itu”

Kemudian mereka berbincang-bincang mengenai berbagai masalah. 
Dengan izin Allah, Nabi Khidir adalah manusia pertama yang telah menyelamatkan Ibrahim.

perjalanannya menuju Makkah, Ibrahim menceritakan seperti ini 
“Setibanya di Zatul Iraq, kudapati seramai tujuh puluh orang yang berjubah kain perca bergelimpangan mati dan darah mengalir dari hidung dan telinga mereka. Aku berjalan di sekitar mayat-mayat tersebut, ternyata salah seorang di antaranya masih hidup”

“Anak muda, apakah yang telah terjadi?” Aku bertanya kepadanya.

“Wahai anak adam” jawabnya padaku. “Duduklah berhampiran air dan tempat sholat, janganlah menjauhinya agar engkau tidak dihukum, tetapi jangan pula terlalu dekat agar engkau tidak celaka. Tidak seorang manusia pun bersikap terlampau berani di depan sultan. Takutilah Sahabat yang memukul dan memerangi para penziarah ke tanah suci seakan-akan mereka itu orang-orang kafir Yunani. Kami ini adalah rombongan sufi yang menembus padang pasir dengan berharap Allah dan berjanji tidak akan mengucapkan sepatah katapun di dalam perjalanan, tidak akan memikirkan apa pun kecuali Allah, sentiasa membayangkan Allah ketika berjalan maupun istirahat, dan tidak peduli kepada segala sesuatu kecuali kepada-Nya”

Setelah kami mengarungi padang pasir dan sampai ke tempat di mana para penziarah harus mengenakan jubah putih, Khidir as datang menghampiri kami. Kami mengucapkan salam kepadanya dan Khidir membalas salam kami. Kami sangat gembira dan berkata “Alhamdulillah, sesungguhnya perjalanan kita telah diridhoi Allah, dan yang mencari telah mendapatkan yang dicari, karena bukankah orang soleh sendiri telah datang untuk menyambut kita” 

Tetapi saat itu juga berserulah sebuah suara dalam diri kami “Kamu pendusta dan berpura-pura! Begitulah kata-kata dan janji kamu dahulu? Kamu lupa kepada-Ku dan memuliakan yang lain. Binasalah kamu! Aku tidak akan membuat perdamaian dengan kamu sebelum nyawa kamu Kucabut sebagai pembalasan dan sebelum darah kamu Kutumpahkan dengan pedang kemurkaan" Manusia-manusia yang engkau saksikan bergelimpangan di sini, semuanya adalah korban dari pembalasan itu. 
Wahai Ibrahim, berhati-hatilah engkau! Engkau pun mempunyai cita-cita yang sama. Berhati-hatilah atau pergilah jauh-jauh dari situ?

Aku sangat takut mendengar kisah itu. Aku bertanya kepadanya “Tetapi mengapakah engkau tidak turut dibinasakan?”

Kepadaku dikatakan “Sahabat-sahabatmu telah matang, sedang engkau masih mentah. Biarlah engkau hidup sesaat lagi dan akan menjadi matang. Setelah matang engkau pun akan menyusul mereka”

Setelah berkata demikian ia pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Ibrahim pun tiba di Makkah

Empat belas tahun lamanya Ibrahim mengarungi padang pasir, dan selama itu pula ia selalu berdoa dan merendahkan diri kepada Allah. 
Ketika hampir sampai ke kota Makkah, para sesepuh kota hendak menyambutnya. Ibrahim mendahului rombongannya agar tidak seorang pun dapat mengenali dirinya. Hamba-hamba yang mendahului para sesepuh tanah suci itu melihat Ibrahim, tetapi karena belum pernah bertemu dengannya, mereka tidak mengenalinya.

Setelah Ibrahim begitu dekat, para sesepuh itu berseru ”Ibrahim bin Adham hampir sampai. Para sesepuh tanah suci telah datang menyambutnya”

“Apakah kamu inginkan dari si bida'h itu?” tanya Ibrahim kepada mereka. 
Mereka langsung menangkap Ibrahim dan memukulnya.

“Para sesepuh tanah suci sendiri datang menyambut Ibrahim tetapi engkau menyebutnya bid'ah?” hardik mereka.

“Ya, aku katakan bahwa dia adalah seorang bida'ah” Ibrahim mengulangi ucapannya.

Ketika mereka meninggalkan dirinya, Ibrahim berkata pada dirinya sendiri “Engkau pernah menginginkan agar para sesepuh itu datang menyambut kedatanganmu, bukankah telah engkau peroleh beberapa pukulan mereka? Alhamdulillah, telah kusaksikan betapa engkau telah memperoleh apa yang engkau inginkan!”

Ibrahim menetap di kota Makkah. 
Ia selalu ditemani beberapa orang sahabat dan ia memperoleh nafkah sebagai tukang kayu. 

Pangeran Diponegoro

Bendara Pangeran Harya Dipanegara, lebih dikenal dengan nama Pangeran Diponegoro, lahir di Yogyakarta, 11 November 1785, meninggal di Makassar 8 Januari 1855. 
Pangeran Diponegoro terkenal karena memimpin Perang Jawa (1825-1830) melawan pemerintah Hindia Belanda. 
Perang tersebut tercatat sebagai perang dengan korban paling besar dalam sejarah Indonesia.

Pangeran Diponegoro adalah putra sulung dari Sultan Hamengkubuwono III. Lahir dengan nama Mustahar, dari seorang selir bernama R.A Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri selir) yang berasal dari Pacitan. 

Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, beliau menolak keinginan ayahnya untuk mengangkatnya menjadi Raja. Beliau setidaknya menikah dengan 9 wanita dalam hidupnya, yaitu : 

  • B.R.A. Retna Madubrangta puteri kedua Kyai Gedhe Dhadhapan.
  • R.A. Supadmi yang kemudian diberi nama R.A. Retnakusuma, putri Raden Tumenggung Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang. 
  • R.A. Retnadewati seorang putri Kyai di wilayah Selatan Jogjakarta.
  • R.Ay. Citrawati, puteri Raden Tumenggung Rangga Parwirasentika dengan salah satu isteri selir. 
  • R.A. Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretna (putri HB II) jadi R.A Maduretna saudara seayah dengan Sentot Prawiradirdja, tetapi lain ibu.
  • R.A. Ratnaningsih, putri Raden Tumenggung Sumaprawira, bupati Jipang Kepadhangan.
  • R.A. Retnakumala, putri Kyai Guru Kasongan.
  • R.A. Ratnaningrum, putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II.
  • Syarifah Fathimah Wajo putri Datuk Husain (Wanita dari Wajo, Makassar) makamnya ada di Makassar. Syarifah Fathimah nasab lengkapnya adalah Syarifah Fathimah Wajo binti Datuk Husain bin Datuk Ahmad bin Datuk Abdullah bin Datuk Thahir bin Datuk Thayyib bin Datuk Ibrahim bin Datuk Qasim bin Datuk Muhammad bin Datuk Nakhoda Ali bin Husain Jamaluddin Asghar bin Husain Jamaluddin Akbar.

Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat, sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo, daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Sultan Hamengkubuwono V. 

Ketika itu, Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V, yang baru berusia 3 tahun. sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujuinya.

Perang Diponegoro/Perang Jawa (1825-1830) 

Perang berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. 

Saat itu beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.

Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. 

Atas saran GPH Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo dan membuat markas di sebuah gua yang bernama Gua Selarong. 

Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. 

Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. 

Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Gua Selarong. 

Kyai Mojo yang lahir di Desa Mojo di wilayah Pajang, dekat Kota Surakarta, tertarik berjuang bersama Pangeran Diponegoro karena Pangeran Diponegoro ingin mendirikan kerajaan yang berlandaskan Islam. Kyai Mojo dikenal sebagai ulama besar yang sebenarnya masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Diponegoro. Ibu Kyai Mojo, R.A. Mursilah, adalah saudara perempuan dari Sultan Hamengkubuwana III. Akan tetapi, Kyai Mojo, aslinya bernama Muslim Mochamad Khalifah, semenjak lahir tidak mencicipi kemewahan gaya hidup keluarga istana. 

Jalinan persaudaraan Diponegoro dan Kyai Mojo kian erat setelah Kyai Mojo menikah dengan janda Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman dari Diponegoro. 

Tak heran, Diponegoro memanggil Kyai Mojo dengan sebutan "paman" meski relasi keduanya adalah saudara sepupu. 

Selain Kyai Mojo, perjuangan Diponegoro juga didukung oleh Sunan Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya Bupati Gagatan. 

Meski demikian, pengaruh dukungan Kyai Mojo terhadap perjuangan Diponegoro begitu kuat karena ia memiliki banyak pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. 

Kyai Mojo yang dikenal sebagai ulama penegak ajaran Islam ini bercita-cita, tanah Jawa dipimpin oleh pemimpin yang mendasarkan hukumnya pada syariat Islam. Semangat memerangi Belanda yang merupakan musuh Islam dijadikan Perang Suci. Oleh sebab itu, kekuatan Dipenogoro kian mendapat dukungan terutama dari tokoh-tokoh agama yang berafiliasi dengan Kyai Mojo. 

Menurut Peter Carey (2016) dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855, disebutkan bahwa sebanyak 112 kyai, 31 haji, serta 15 syekh dan puluhan penghulu berhasil diajak bergabung.

Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden. 

Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro, hingga akhirnya ditangkap pada 1830.

Perang Diponegoro merupakan perang terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infanteri, kavaleri dan alteleri yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal. 

Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya, sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi, begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus selama peperangan berkecamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.

Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan. para senopati menyadari sekali untuk bekerja sama dengan alam sebagai “senjata” tak terkalahkan. 

Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan berbagai usaha untuk gencatan senjata dan berunding karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. 

Penyakit malaria, disentri dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak” melemahkan moral dan kondisi fisik, bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. 

Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota, menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.

Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu, suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu ketika suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. 

Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare) maupun metode perang gerilya (guerilla warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan. 

Ini bukan sebuah perang suku, melainkan suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan. 

Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat saraf (psy war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran. kegiatan telik sandi (spionase) dengan kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng, sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. 

Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya, menyerah kepada Belanda. 

Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. 

Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putra Pangeran Diponegoro, Ki Sodewa atau Bagus Singlon, Dipaningrat, Dipanegara Anom, Pangeran Joned yang terus-menerus melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis. 

Empat putra Pangeran Diponegoro dibuang ke Ambon, sementara Pangeran Joned terbunuh dalam peperangan, begitu juga Ki Sodewa.

Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban di pihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini, jumlah penduduk Ngayogyakarta menyusut separuhnya. 

Mengingat bagi sebagian kalangan dalam Kraton Ngayogyakarta, Pangeran Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwono IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir. 

Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Letnan Jenderal Hendrik Merkus De Kock tanggal 28 Maret 1830 yang mengakhiri Perang Diponegoro/Perang Jawa (1825-1830), karya Nicolaas Pieneman.
  • 20 Februar 1830, Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Kabupaten Purworejo) Cleerens mengusulkan agar Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal de Kock dari Batavia. 
  • 28 Maret 1830, Pangeran Diponegoro menemui de Kock di Magelang. De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang. Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux. 
  • 11 April 1830, sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang Museum Fatahillah) Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch. 
  • 30 April 1830, keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Dipasana dan istri serta para pengikut lainnya seperti Mertaleksana, Banteng Wereng dan Nyai Sotaruna akan dibuang ke Manado.
  • 3 Mei 1830, Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam. 
  • 1834, dipindahkan ke benteng Rotterdam, Makassar. 
  • 8 Januari 1855, Diponegoro wafat dan dimakamkan di Makassar, tepatnya di Jalan Diponegoro, Kelurahan Melayu, Kecamatan Wajo, sekitar empat kilometer sebelah utara pusat Kota Makassar.

Dalam perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh putranya bernama Bagus Singlon atau Ki Sodewa. Ki Sodewa melakukan peperangan di wilayah Kulonprogo dan Bagelen. 

Lokasi makam Pangeran Diponegoro di Makassar. 

Pangeran Diponegoro mempunyai 12 putra dan 10 orang putri, yang keturunannya semuanya kini hidup tersebar di seluruh dunia, termasuk Jawa, Madura, Sulawesi dan Maluku bahkan di Australia, Serbia, Jerman, Belanda dan Arab saudi. 

Mata uang kertas Rp100 bergambar Pangeran Diponegoro, diterbitkan tahun 1952. 

Sebagai penghargaan atas jasa Diponegoro dalam melawan penjajahan, di beberapa kota besar Indonesia terdapat Jalan Pangeran Diponegoro. 

Kota Semarang sendiri juga memberikan apresiasi agar nama Pangeran Diponegoro akan senantiasa hidup. 

Nama-nama tempat yang menggunakan namanya antara lain Stadion Diponegoro, Jalan Pangeran Diponegoro, Universitas Diponegoro, Kodam IV Diponegoro. Juga ada beberapa patung yang dibuat, patung Diponegoro di Undip Pleburan, patung Diponegoro di Kodam IV/Diponegoro serta di pintu masuk Undip Tembalang.

Mata uang kertas Rp1.000 bergambar Pangeran Diponegoro, diterbitkan tahun 1975. 

Pemerintah Republik Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno, pada tanggal 8 Januari 1955, pernah menyelenggarakan Haul Nasional memperingati 100 tahun wafatnya Pangeran Diponegoro, sedangkan pengakuan sebagai Pahlawan Nasional diperoleh Pangeran Diponegoro pada tanggal 6 November 1973 melalui Keppres No.87/TK/1973.

Penghargaan tertinggi justru diberikan oleh Dunia, pada 21 Juni 2013, Unesco menetapkan Babad Diponegoro sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World

Babad Diponegoro merupakan naskah klasik yang dibuat sendiri oleh Pangeran Diponegoro ketika diasingkan di Manado pada 1832-1833. 

Selain itu, untuk mengenang jasa Pangeran Diponegoro dalam memperjuangkan kemerdekaan, didirikanlah Museum Pangeran Diponegoro atau yang lebih dikenal dengan sebutan "Sasana Wiratama" di Tegalrejo, Yogyakarta, yang menempati bekas kediaman Pangeran Diponegoro. 

Monday, February 17, 2020

Ronggowarsito

Nama aslinya adalah Bagus Burhan. Ia adalah putra dari Mas Pajangswara, juga disebut Mas Ngabehi Ranggawarsita. Ayahnya adalah cucu dari Yasadipura II, pujangga utama Kasunanan Surakarta. 

Ayah Bagus Burhan merupakan keturunan Kesultanan Pajang, sedangkan ibunya adalah keturunan dari Kesultanan Demak. 

Bagus Burhan diasuh oleh Ki Tanujaya, abdi dari ayahnya. 

Sewaktu muda, Burhan terkenal nakal dan gemar judi. Ia dikirim kakeknya untuk berguru agama Islam pada Kyai Imam Besari pemimpin Pesantren Gebang Tinatar di desa Tegalsari, Ponorogo. Pada mulanya ia tetap saja bandel, bahkan sampai kabur ke Madiun. Setelah kembali ke Ponorogo, konon ia mendapat "pencerahan" di Sungai Kedungwatu, sehingga berubah menjadi pemuda alim yang pandai mengaji.

Ketika pulang ke Surakarta, Burhan diambil sebagai cucu angkat Panembahan Buminoto (adik PakubuwonoIV) 

Ia kemudian diangkat sebagai Carik Kadipaten Anom bergelar Mas Pajanganom. 

Pada masa pemerintahan Pakubuwono V, karir Burhan tersendat-sendat karena Raja baru ini kurang suka dengan Panembahan Buminoto yang selalu mendesaknya agar pangkat Burhan dinaikkan. 

Burhan menikah dengan Raden Ayu Gombak dan ikut mertuanya, Adipati Cakradiningrat di Kediri. Di sana ia merasa jenuh dan memutuskan berkelana ditemani Ki Tanujoyo. Konon, Burhan berkelana sampai ke Pulau Bali untuk mempelajari naskah-naskah sastra Hindu koleksi Ki Ajar Sidalaku. 

Bagus Burhan diangkat sebagai Panewu Carik Kadipaten Anom bergelar Raden Ngabei Ronggowarsito, menggantikan ayahnya yang meninggal di penjara Belanda tahun 1830. Lalu setelah kematian Yasadipura II, Ranggawarsita diangkat sebagai pujangga Kasunanan Surakarta oleh Pakubuwono VII. 

Pada masa inilah Ronggowarsito melahirkan banyak karya sastra. 

Hubungannya dengan Pakubuwono VII juga sangat harmonis. Ia juga dikenal sebagai peramal ulung dengan berbagai macam ilmu kesaktian.

Naskah-naskah babad cenderung bersifat simbolis dalam menggambarkan keistimewaan Ronggowarsito. 

Misalnya, ia dikisahkan mengerti bahasa binatang. Ini merupakan simbol bahwa Ronggowarsito peka terhadap keluh kesah rakyat kecil. 

Pakubuwono IX naik tahta tahun 1861. Ia adalah putra Pakubuwono VI yang dibuang ke Ambon tahun 1830 karena mendukung Pangeran Diponegoro. 

Konon, sebelum menangkap Pakubuwono VI, pihak Belanda lebih dulu menangkap juru tulis keraton, yaitu Mas Pajangswara untuk dimintai kesaksian. Meskipun disiksa sampai tewas, Pajangswara tetap diam tidak mau membocorkan hubungan Pakubuwono VI dengan Pangeran Diponegoro. 

Meskipun demikian, Belanda tetap saja membuang Pakubuwono VI dengan alasan bahwa Pajangswara telah membocorkan semuanya. 

Fitnah inilah yang menyebabkan Pakubuwono IX kurang menyukai Ronggowarsito yang tidak lain adalah putra Pajangswara.

Hubungan Ronggowarsito dengan Belanda juga kurang baik. Meskipun ia memiliki sahabat dan murid seorang Indo bernama C.F Winter, tetap saja gerak-geriknya diawasi Belanda. 

Ronggowarsito dianggap sebagai jurnalis berbahaya yang tulisan-tulisannya dapat membangkitkan semangat juang kaum pribumi. Karena suasana kerja yang semakin tegang, akibatnya Ronggowarsito pun keluar dari jabatan redaksi surat kabar Bramartani tahun 1870. 

Ranggawarsita meninggal dunia secara misterius tanggal 24 Desember 1873. Anehnya, tanggal kematian tersebut justru terdapat dalam karya terakhirnya, yaitu Serat Sabdajati yang ia tulis sendiri. Hal ini menimbulkan dugaan kalau Ronggowarsito meninggal karena dihukum mati, sehingga ia bisa mengetahui dengan persis kapan hari kematiannya.

Penulis yang berpendapat demikian adalah Suripan Sadi Hutomo (1979) dan Andjar Any (1979) 

Pendapat tersebut mendapat bantahan dari pihak elit keraton Surakarta, yang berpendapat kalau Ronggowarsito adalah peramal ulung, sehingga tidak aneh kalau ia dapat meramal hari kematiannya sendiri. 

Istilah Zaman Edan, konon pertama kali diperkenalkan oleh Ronggowarsito dalam Serat Kalatida, yang terdiri atas 12 bait tembang Sinom. 

Salah satu bait yang paling terkenal adalah : 

amenangi zaman edan,
Ewuhaya ing pambudi,
melu ngedan nora tahan,
yen tan melu anglakoni,
boya keduman melik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang eling klawan waspada.
menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti gila,
tidak akan mendapat bagian,
kelaparan pada akhirnya,
namun telah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.

Syair di atas menurut analisis seorang penulis bernama Ki Sumidi Adisasmito adalah ungkapan kekesalan hati pada masa pemerintahan Pakubuwono IX yang dikelilingi para penjilat yang gemar mencari keuntungan pribadi. Syair tersebut masih relevan hingga zaman modern ini di mana banyak dijumpai para pejabat yang suka mencari keutungan pribadi tanpa mempedulikan kerugian pihak lain. 

Karya sastra tulisan Ronggowarsito antara lain : 

  • Bambang Dwihastha 
  • Bausastra Kawi 
  • Sajarah Pandhawa lan Korawa : miturut Mahabharata 
  • Sapta dharma
  • Serat Aji Pamasa
  • Serat Candrarini
  • Serat Cemporet
  • Serat Jaka Lodang
  • Serat Jayengbaya
  • Serat Kalathida
  • Serat Panitisastra
  • Serat Pandji Jayeng Tilam
  • Serat Paramasastra
  • Serat Paramayoga
  • Serat Pawarsakan
  • Serat Pustaka Raja
  • Suluk Saloka Jiwa
  • Serat Wedaraga
  • Serat Witaradya
  • Sri Kresna Barata
  • Wirid Hidayat Jati
  • Wirid Ma'lumat Jati
  • Serat Sabda Jati

Ramalan tentang kemerdekaan Indonesia 

Ranggawarsita hidup pada masa penjajahan Belanda. Ia menyaksikan sendiri bagaimana penderitaan rakyat Jawa, terutama ketika program Tanam Paksa dijalankan pasca Perang Diponegoro. Dalam suasana serba memprihatinkan itu, Ranggawarsita meramalkan datangnya kemerdekaan, yaitu kelak pada tahun Wiku Sapta Ngesthi Janma.

Kalimat yang terdiri atas empat kata tersebut terdapat dalam Serat Jaka Lodang dan merupakan kalimat Suryasengkala yang jika ditafsirkan akan diperoleh angka 7-7-8-1. Pembacaan Suryasengkala dibalik dari belakang ke depan, yaitu 1877 Saka, yang bertepatan dengan 1945 Masehi, yaitu tahun kemerdekan Republik Indonesia. 

Pengalaman pribadi Bung Karno pada masa penjajahan adalah ketika berjumpa dengan para petani miskin yang tetap bersemangat di dalam penderitaan, karena mereka yakin pada kebenaran ramalan Ranggawarsita tentang datangnya kemerdekaan di kemudian hari. 

saceundeung


Iket Sunda Bukan Sekedar “Saceundeung Kaen”

1295

iket

BANDUNG, infobdg.com – Setelah mencanangkan program #jumatbersepeda yang mengharuskan para PNS bersepeda setiap hari Jumat, kali ini Walikota Bandung Ridwan Kamil meminta jajarannya dan para PNS untuk menggunakan iket, atau totopong (Red – ikat kepala khas Sunda) setiap hari Rabu. Program ini dilaksanakan agar warga Bandung turut melestarikan budaya Sunda, selain itu hari rabu juga bertepatan dengan Rebo Nyunda (Red – #RandaKembang Rabu Sunda di Kota Kembang).

pakaian-adat-suku-sundaPada zaman dahulu iket atau totopong mencerminkan kelas dalam masyarakat, hingga tampak jelas perbedaan kedudukan seseorang (pria) dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya pemakaian iket berkaitan dengan kegiatan sehari-hari ataupun ketika ada perhelaan resmi seperti upacara adat dan musyawarah adat. Iket dipandang dan dianggap tepat sebagai benda yang dapat melindungi kepala saat melakukan aktifitas dan sekaligus menjadi atribut sosial. Bentuknya yang beragam diciptakan sebagai simbol yang berkaitan dengan keagamaan, upacara adat, dan status sosial tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap mempunyai peranan dalam suatu kelembagaan

Iket sunda bukan hanya sekedar kain yang digunakan dikepala, makna iket jauh besar dari hanya sekedar pelindung atau menandakan status sosial. Iket dibentuk dari kain berbentuk bujur sangkar yang memiliki empat sudut. Keempat sudut itu memiliki makna sebagai sudut kereteg haté (kereteg = perasaan atau suara yang timbul dengan sendirinya, haté = hati. kereteg haté diartikan sebagai niat), ucapan (lisan), tingkah (sikap), dan raga (badan) yang kemudian kain itu dilipat dua membentuk segitiga sama kaki dengan tiga sudut. Ketiga sudut tersebut mencerminkan tiga azas tritunggal kesetaraan dalam hidup kemasyarakatan yakni tritangtu yang terdiri dari resi pemimpin agama, rama (pemimpin rakyat) dan perebu (pemimpin wilayah).

Rupa-rupa iket dikategorikan sesuai zamannya, ada iket buhun (Red – kuno) dan iket kiwari (Red – sekarang). Untuk iket buhun merupakan iket yang telah menjadi warisan secara turun-temurun dari para leluhur. Sementara itu iket kiwari merupakan modifikasi iket dari orang – orang yang memiliki rasa kebanggaan terhadap budaya iket buhun.

Bentuk iket sangat beragam, disini Infobdg.com akan memberikan rupa-rupa iket dan contoh bagaimana cara menggunakan iket.

Rupa Iket Buhun :

1. Barangbang semplak, iket ini biasanya dipakai oleh para jawara.

cara-barangbang-semplak2

 

 

 

 

 

 

 

 

2. Julang ngapak, bentuk iket ini biasanya Dipakai oleh para orang tua

cara-julang-ngapak-30

 

 

 

 

 

 

 

 

3. Kuda ngencar

Iket-Sunda-8

 

 

 

 

 

 

 

 

 

4. Parekos nangka, iket ini biasanya dipakai oleh orang yang sedang tergesa-gesa.

parekos-nangka

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

5. Parekos Jengkol

iket parekos jengkol karuhun

 

 

 

 

 

 

 

 

Ada lagi beberapa rupa iket sunda buhun diantaranya adalah Porteng, Maung heuay, Kekeongan , dan Talingkup. Selain iket sunda buhun ada juga iket sunda kiwari .

Rupa Iket KIWARI :

1. Candra Sumirat :

iket candra sumirat

 

 

 

 

 

 

 

 

2. Maung Leumpang

maung leumpang

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Masih ada beberapa lagi jenis iket sunda kiwari, seperti hanjuang dan lain-lain. selain iket sunda yang sudah ada dari dulu, iket sunda juga sudah mengalami perkembangan dengan adanya beberapa iket yang diciptakan oleh pecinta budaya sunda.

Berikut ini ada beberapa video tutorial cara menggunakan iket sunda :

Budaya memang seharusnya dilestarikan, iket merupakan salah satu budaya yang harus kita lestarikan. Dengan adanya perintah dari pemerintah Kota Bandung yang mengharuskan menggunakan iket setiap hari Rabu, sudah seharusnya kita mengikuti perintah dari Walkot untuk membantu melestarikan budaya iket sunda, kalau bukan kita “urang sunda” yang melestarikannya, siapa lagi?

Komentar

6 Total Komentar