Friday, March 20, 2020

Ki Bagus Rangin

Bagus Rangin berasal dari Demak, distrik Blandong, Rajagaluh, Majalengka, yang terletak di kaki gunung Ciremai. 

Dia adalah putra dari Sentayem (Ki buyut Teyom) cucu dari Waridah dan keturunan dari Ki buyut Sambeng, salah satu dari cicit pembesar didaerah tersebut atau dalam Bahasa Cirebon disebut Ki Gede.

Bagus Rangin mempunyai tiga orang saudara. Kakaknya bernama Buyut Bangin dan kedua adiknya bernama Buyut Salimar serta Bagus Serit (Bagus Serit juga menjadi pejuang melawan penjajah) 

Bagus Rangin bukanlah seorang raja. ia hanya seorang rakyat biasa, namun memiliki semangat ksatria untuk melawan kekejaman dan kediktatoran penguasa, baik itu pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun penguasa lokal di wilayah Keresidenan Cirebon. 

Dalam setiap kesempatan, ia berdiri dan mengurai khotbah pembangkitan. Sebuah khotbah yang panjang, yang menggugah kesadaran makna hidup dan kehidupan rakyat setempat yang didera nestapa. Juga khotbah politis yang menyoroti praktik-praktik tak benar penguasa lokal Cirebon. 

Pangeran (Allah) telah menjadikan dunia sebagai tempat kehidupan umat. Tapi oleh Sultan malah dijual kepada Cina dan Kompeni yang tak pernah merasa kenyang” katanya bergelora. 

Bagus Rangin belum berhenti. Masih banyak pesan suci yang dipompakan untuk membuka mata hati yang sebelumnya seakan sudah mati harapan. Dia berhasil menyadarkan warga akan kelemahannya selama ini.

Pada waktu itu, beberapa pengusaha dari etnis Cina memang ikut menyengsarakan masyarakat. Bersama Belanda, mereka menyewa tanah-tanah dari Sultan Cirebon. Padahal tanah-tanah itu, seperti kawasan utara Majalengka, juga termasuk wilayah Lohbener, Dermayu, Loyang dan sekitarnya merupakan sumber kehidupan rakyat.

Walhasil, ketiadaan sumber kehidupan telah memunculkan kelaparan. Sampai-sampai rakyat terpaksa harus makan dedaunan dan rumput. Akibat lebih lanjut, banyak di antara masyarakat berguling-guling di tanah sembari memegangi perut. Semua merintih kesakitan. Di luar itu, sulitnya kehidupan telah membuat sebagian orang menjual diri. 

Hal ini terus berkelanjutan, mungkin hingga sekarang juga. Seperti dilukiskan dalam tembang pantura “remang-remang” 

Dengan kenyataan itu, masuk akal jika rakyat begitu benci dengan Cina dan Belanda setelah mendengarkan khotbah pencerahan dari Bagus Rangin. 

Kisah perjuangan Bagus Rangin, nyaris tenggelam dalam masyarakat Indonesia. 

Di Cirebon, ada perang melawan penjajah Belanda yang telah berlangsung sebelum Perang Diponegoro. Perang itu dikenal masyarakat setempat dengan nama ‘Perang Kedongdong’ 

Perang tersebut berlangsung pada 1802-1818, dengan tokoh pejuangnya yang bernama Ki Bagus Rangin.

Sultan Sepuh XIV, PRA Arief Natadiningrat, mengatakan bahwa perang tersebut merupakan pemberontakan besar pertama di Pulau Jawa dalam melawan penjajah Belanda sebelum Perang Diponegoro. 

Perlawanan yang dilancarkan Ki Bagus Rangin, sempat membuat pasukan kompeni kewalahan. Apalagi perjuangan Ki Bagus Rangin mendapat dukungan dari masyarakat luas. 

Setelah rakyat Karasidenan Cirebon terbangun kesadarannya, mereka bergerak bersama Bagus Rangin.

Pertempuran yang terjadi antara pasukan Bagus Rangin dan pasukan kolonial Hindia Belanda pertama kalinya berlangsung pada 25 Februari 1806. Hal ini sesuai dengan resolusi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda yang menyebutkan ada kerusuhan sosial di daerah Cirebon pada tanggal tersebut. Daerah-daerah lain yang membantu Bagus Rangin berasal dari daerah Jatitujuh, Rajagaluh, Bangawan Wetan, Sumber, Bantarjati, Cikao, Kandanghaur, Kuningan, Linggarjati, Luragung, Maja, Sumedang, Karawang dan Subang. 

Gubernur Jenderal Hindia Belanda, A.J. Wiese, menugaskan kepada Nicolas Engelhaard, untuk meminta bantuan agar para bupati mengirimkan pasukannya untuk melawan Bagus Rangin. Namun tidak semua bupati menaati perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda tersebut. 

Akibat membangkang pada perintah kolonial Hindia Belanda, maka Sultan Kanoman Cirebon, Pangeran Suriawijaya, dibuang oleh Belanda ke Ambon dan dipecat dari jabatan Sultan pada tanggal 2 Maret 1810 oleh Gubernur Jenderal Daendells. 

Perang yang terjadi di Bantarjati, dari tanggal 16 sampai 29 Februari 1812, adalah perang yang terakhir dan berakhir dengan kekalahan di pihak Bagus Rangin. 

Akhirnya pada tanggal 27 Juni 1812, Bagus Rangin dapat tertangkap oleh pasukan Belanda di daerah Panongan, Jatitujuh. 

Pada tanggal 12 Juli 1812, Bagus Rangin dijatuhi hukuman mati dengan cara dipenggal kepalanya di daerah Karangsambung, tepian sungai Cimanuk. 

Pada 1805, pertempuran pecah di daerah Pangumbahan. Juga terjadi pertempuran di daerah Karesidenan Cirebon dan pantai utara Jawa. Pasukan Bagus Rangin yang berkekuatan ±10.000 orang, kalah dan terpaksa mengakui keunggulan Belanda. 

Tahun 1818, terjadi perang kedondong, dipimpin Pangeran Matangaji, dibantu Laskar Santri. Peperangan ini di menangkan oleh pasukan Cirebon karena pasukan Kesultanan yang semula bergabung dengan VOC, membelot dan ikut menggempur bersama laskar "Klebet Waring" 



No comments:

Post a Comment