Monday, October 5, 2020

lubang

Sisi Lain Lubang Buaya

Setiap tanggal 1 Oktober, rakyat Indonesia memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan itu dilaksanakan terkait tragedi pembunuhan 7 Pahlawan Revolusi yang terjadi pada 30 September 1965. Ketujuh Pahlawan Revolusi itu dikuburkan dalam sebuah sumur tua di daerah Lubang Buaya sebelum akhirnya ditemukan satu hari kemudian oleh tim Tentara Nasional Indonesia. 

Lubang Buaya merupakan nama kelurahan di Kecamatan Cipayung, Jakarta Timur yang  berbatasan langsung dengan Kelurahan Halim Perdana Kusumah di sebelah utara, serta Kelurahan Pinang Ranti dan Kelurahan Bambu Apus di sebelah barat. Sedangkan di sebelah timur berbatasan dengan Desa Jatirahayu Pondok Gede, Bekasi, dan Kelurahan Setu di sebelah selatannya.
Kawasan Lubang Buaya menjadi sangat terkenal sejak meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI) yang didalangi oleh Partai Komunis Indonsia (PKI). Para korban keganasan PKI berjumlah 7 orang yang kemudian digelari Pahlawan Revolusi itu dibuang ke dalam sumur Lubang Buaya.
Lubang Buaya saat terjadinya G30S/PKI itu merupakan pusat pelatihan milik PKI.  Namun, tempat itu sekarang dikenal sebagai Monumen Pancasila Sakti Lubang Buaya. Selain monumen peringatan peristiwa G30S/PKI di tempat tersebut kini juga terdapat museum peristiwa kelam di masa Orde Lama itu.
Jauh hari sebelum terjadi peristiwa G30S, sebenarnya sumur yang dijadikan tempat pembuangan jenazah para pahlawan revolusi adalah sumur milik warga sekitar. Sumur milik Bambang Haryono itu dahulu merupakan sumber air warga Kampung Lubang Buaya.
Lalu bagaimana awalnya kawasan tersebut dinamakan Lubang Buaya? Benarkah dahulu kawasan tersebut didiami sekumpulan buaya putih seperti kata orang?
Menurut legenda yang beradar dari mulut ke mulut. Asal mula kawasan tersebut disebut Lubang Buaya tak dapat dilepaskan dari kisah salah satu sesepuh kampung Lubang Buaya pada masa lalu, Datuk Banjir.
Allkisah dahulu kala, Datuk Banjir bersama kedua temannya sedang melintasi kawasan yang kini disebut Lubang Buaya. Saat itu hujan deras. Datuk Banjir yang dikenal sakti mandraguna sedang melintasi kawasan itu sambil mengayuh getek atau rakit yang terbuat dari bambu. Tiba-tiba getek yang ditumpangi Datuk Banjir dan dua temannya berhenti.Kedua temannya ketakutan mereka akan bertemu dengan sekelompok buaya putih yang terkenal biasa mendiami rawa-rawa di sekitar itu.
Datuk Banjir penasaran. Datuk mengambil galah dan membenamkan ujungnya ke dasar air untuk mendapatkan gerak maju. Dasar air tak tersentuh. Getek tetap diam. Dicobanya lagi, masih tak berhasil. Datuk pun mengira, di sana ada lubang tempat persembunyian buaya. Datuk pun memutar arah agar geteknya bisa berjalan.
Ketika air telah surut, Datuk kembali ke sana. Benar saja, di situ terdapat sebuah lubang. Bentuknya seperti sumur. Ia menamakannya Lubang Buaya.
Legenda Lubang Buaya berkembang dari mulut ke mulut. Terakhir, penduduk sekitar mendengarnya dari H. Yusuf, pria asal Cirebon, yang mengklaim keturunan Datuk Banjir. Mereka yang percaya, mendatangi sumur itu setiap menjelang musim hujan, terutama di bulan Oktober.
Di sana, mereka menyelenggarakan ruwatan. Doa mohon keselamatan dari ancaman bahaya banjir dipanjatkan. Nama Datuk Banjir yang diyakini menguasai tempat itu, mereka lafalkan dengan khidmat. Tradisi ruwatan meluas ke permohonan lain. Kepada sang penguasa sumur, warga juga meminta limpahan rejeki dan jodoh buat anak-anak gadisnya.
Mengenai benar atau tidaknya legenda tersebut. Wallahu’alam bisshawab.(Asep)

No comments:

Post a Comment