Palawija, Pengiring Kesayangan Raja Jawa
Abdi dalem palawija menjadi pengiring setia para raja. Mereka bertubuh kerdil, albino, bongkok, atau pincang, sehingga disebut juga abdi dalem cebolan.
Dengan bertelanjang kaki, sekelompok pengiring berjalan mengiringi raja yang telah dinobatkan menuju Sitihinggil. Mereka berjumlah tujuhbelas orang, mengenakan kain sebatas perut namun tanpa busana atasan maupun penutup kepala.
Kelompok pengiring itu lebih dikenal dengan sebutan abdi dalem palawija. Mereka bertubuh kerdil, albino, bongkok, atau pincang –sehingga disebut juga abdi dalem cebolan. Mereka bertugas sebagai pengiring dan bagian dari pelengkap upacara (ubarampe) pada penobatan Sri Sultan Hamengku Buwana X sebagai Raja Ngayogyakarta Hadiningrat pada 7 Maret 1989.
Sebelum upacara, pihak keraton yang menangani ubarampe mendapat beban cukup berat. Selain mencari pohon beringin pengganti Kyai Dewandaru yang roboh, mereka mesti mengumpulkan abdi dalem palawija. Waktunya terbatas. Uluran tangan dari perusahaan Jamu Jago dan Battery ABC tak lagi bisa diraih; perusahaan-perusahaan itu tak lagi menggunakan jasa orang cebol untuk keperluan promosi produk. Teh Poci akhirnya mengulurkan bantuan tiga orang cebol; jumlah itu pun masih minim.
Saat pencarian berlangsung, ada seorang ibu yang memiliki anak albino menolak memberi izin karena takut anaknya dijadikan tumbal. Setelah diberi penjelasan, sang ibu akhirnya melepas anaknya.
“Untunglah, meski sulit, dalam tiga hari para petugas berhasil mengumpulkannya,” ujar Atmopiranti, seorang abdi dalem jajar, dikutip Kedaulatan Rakyat, 2 Maret 1989.
Kesulitan itu wajar. Sudah lama Keraton Ngayogyakarta tak menggelar perayaan dan upacara besar. Dengan sendirinya keraton tak menampung abdi dalem palawija. Kemunculan mereka terakhir terjadi pada 1972 saat keraton menggelar arak-arakan garebeg mulud, perayaan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad Saw.
Dalam acara itu, abdi dalem palawija mengiringi gunungan lanang (laki-laki) dan wadon (perempuan) dari halaman Kemandungan menuju Sitihinggil. Mereka memakai penutup kepala (kuluk), bertelanjang dada, serta berikat pinggang dan mengenakan kain bermotif kotak-kotak besar hitam dan putih (poleng). “Mereka berpakaian seperti punakawan,” tulis Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Budaya.
Sebagai Pengiring Setia
Di masa lampau, figur abdi dalem palawija hadir dalam prasasti, karya sastra, maupun pahatan relief candi. Ia menjadi bagian dari konsep panakawan, pengirin dan pendamping setia golongan keraton atau raja. Karenanya, mereka juga kerap disebut “panakawan palawija”.
Keberadaan para pengiring raja ini tersua dalam relief di Candi Prambanan dari abad ke-9 namun mereka berpenampilan tampan dan cantik. Mereka membantu tokoh utama dalam keadaan senang maupun susah, juga memberi nasehat.
Gambaran para pengiring yang aneh tergurat dalam relief Candi Jago, yang dibangun masa kerajaan Singhasari pada abad ke-13. Mereka berperawakan pendek-gemuk-gempal, berkepala besar, mengenakan kain tanpa busana atas, dan ditampilkan dinamis dengan berbagai aktivitas. Begitu pula yang tergurat dalam candi-candi masa Majapahit: Tegawangi, Kedaton, dan Surawarna yang dibangun pada abad ke-14.
Memasuki masa kesultanan Islam, para wali mengenalkan para pengiring dengan bentuk dan fungsi yang berbeda ke dalam wayang: Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong. Semuanya memiliki bentuk tubuh yang aneh. Mereka bukan hanya berlakon sebagai pelawak tapi juga pemberi petuah yang bijak, bahkan dianggap sebagai titisan dewa. Gambaran tokoh ini semakin sering ditemukan dalam karya-karya sastra masa Yasadipura pada abad ke-18 di Surakarta seperti Wedatama. Mereka kemudian dikenal dengan nama panakawan.
Baca juga: Video: Si Bantheng, Pengiring Diponegoro yang Paling Setia
Gambaran yang lebih mendekati abdi dalem palawija terdapat dalam Prasasti Cane (1021) dan prasasti lain yang dikeluarkan awal abad ke-11. Di sana tercantum abdi pujut (cacat jasmaniah), bhondan (budak-budak berkulit hitam), pandak (cebol), wwal atau wyal atau wêal (orang berpunuk), dan wungkuk (orang bongkok) bersama duaratus nama jabatan yang digolongkan ke dalam kelompok mangilala drawya haji. WF Stutterheim, ahli purbakala asal Belanda, dalam Rama-Legenden und Rama-Reliefs in Indonesien, Vol. 2, menafsirkan kelompok jabatan itu sebagai abdi dalem keraton yang tak punya daerah lungguh, sehingga hidupnya tergantung dari gaji yang diambil dari perbendaharaan raja (drawya haji).
Menurut Boechari, seorang ahli epigrafi, kesimpulan Stutterheim merujuk pada istilah hulun haji (abdi raja) dan watek i jro (golongan dalam) yang ditafsirkan sebagai abdi dalem yang tinggal di lingkungan tembok kota (jeron beteng), termasuk di lingkungan tembok istana. Figur-figur itu dijumpai dalam bentuk rawanahasta “kelompok yang mungkin dapat disamakan dengan abdi dalem palawija,” tulis Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti.
Istilah abdi dalem palawija sendiri muncul dalam Serat Gandakusuma, berbentuk tembang macapat, yang berasal dari abad ke-18 hingga 20. Menurut Wishnu Prahutomo dalam tesis untuk memperoleh gelar magister humaniora berjudul “Serat Gandakusuma: Alih Aksara, Terjemahan, dan Simbolik dalam Struktur Roman Islam Jawa”, serat ini bertutur tentang perjalanan Raden Gandakusuma dalam merebut kembali kerajaannya yang diduduki “pihak kafir”; simbol perjalanan seorang sufi untuk meraih tahapan tertinggi. Dia dibantu seorang perempuan yang kemudian jadi istrinya, Dewi Sarirasa.
Dalam bagian asmaragama, dikisahkan bagaimana Raden Gandakusuma bersanding di peraduan dengan Sarirasa. Terlontarlah antara lain rayuan ini: “Berdiamlah di dalam istana, Kanda sangat suka padamu. Aku rela menjadi abdi palawija dan begundal sekalipun.”
Abdi Dipanegara
Abdi dalem palawija tak hanya dimiliki raja Jawa yang berkedudukan di dalam istana. Mereka yang berada di luar tembok istana atau berseberangan paham pun memilikinya. Abdi ini menjalani peran yang sama, sebagai pendamping setia.
Dipanegara memiliki beberapa panakawan yang menemaninya selama masa perang, rehat perang, masa-masa sulit, penangkapan, pembuangan, hingga akhir hayatnya. Ketika menggalang kekuatan di Selarong pada 1825, dia didampingi Bantengwareng, yang bertubuh cebol. Saat Dipanegara memutuskan untuk mengembara di hutan-hutan wilayah Bagelen barat, demi meloloskan diri dari sergapan pasukan Belanda pada 1829, dia ditemani dua panakawannya, Roto dan Bantengwareng.
Menurut Peter Carey, sejarawan dari Trinity College Oxford, Bantengwareng beperan penting selama sisa perjuangan, pembuangan, dan akhir hayat Dipanegara. Dia bahkan menjadi semacam penasehat bagi putra Dipanegara, Pangeran Alibasah, selama di benteng Rotterdam di Makassar. Bantengwareng juga berperan sebagai penjaga, pelawak di kala sedih, penasehat, peracik obat, dan penafsir mimpi.
Baca juga: Roto, Jenaka Pengiring Diponegoro
Bantengwareng memenuhi sumpah setianya hingga mati (teguh pati) untuk mengiringi Dipanegara. Dia meninggal dua tahun setelah wafatnya Dipanegara pada 8 Januari 1855. Dia dikebumikan di Kampung Melayu, Makassar, di areal pemakaman Dipanegara. Makamnya berukuran laiknya bayi berumur enam tahun. Pusaranya dibelah dinding pemisah areal pemakaman keluarga Pangeran Dipanegara; setengah makamnya berada di areal pemakaman keluarga, setengah lagi berada di luar areal.
”Ini menandakan bahwa Bantengwareng dianggap sebagai bagian dari keluarga Dipanegara, walaupun ia berasal dari kalangan bawah,” ujar Peter Carey kepada Historia.
Bupati-bupati di Jawa dan Priangan juga memiliki golongan palawija, terutama orang cebol. JWB Money, seorang sarjana berkebangsaan Inggris, menemukannya dalam perjalanan ke Jawa tahun 1858. Dalam Java: How to Manage a Colony. Vol I, dia memberi informasi bahwa saat berkunjung ke Cianjur, dia bertemu dengan bupati Cianjur dan Bandung di mana masing-masing memiliki orang cebol keraton, yang memegang payung sungsungan para bupati.
Sekitar Istana
Kehadiran abdi dalem palawija di keraton penting untuk meneguhkan kesaktian sang raja. Menurut Benedict Anderson, sudah menjadi tradisi lama di Jawa bahwa seorang penguasa harus memusatkan pada dirinya benda atau orang yang memiliki atau mengadung Kekuatan luar biasa.
“Tempatnya akan diisi bukan hanya kumpulan pusaka tradisional seperti keris, tombak, alat musik keramat, kereta, dan sejenisnya, tetapi juga beberapa tipe manusia aneh, seperti albino, lucu, cebol, dan juru ramal,” tulisnya dalam Language and Power. “Berada di istana, Kekuatan mereka diserap oleh, dan kemudian memperkuat, sang penguasa. Kehilangan mereka, dengan cara apapun, dipandang sebagai penurunan nyata Kekuatan raja dan sering menjadi pertanda keruntuhan dinasti.”
Di Yogyakarta, mereka pendamping kesayangan sultan. Mereka mendapat tanah lungguh, yang saat ini dikenal sebagai Kampung Palawijan, di dalam Jeron Beteng, kraton Yogyakarta. Peran mereka bukan hanya sebagai pengiring Sultan, pemberi petuah, dan salah satu perangkat upacara tradisi keraton tapi juga simbol jiwa sosial raja dan dipercaya menambah daya magis.
Baca juga: Si Bantheng, Pengiring Diponegoro yang Paling Setia
Dalam sebuah wawancara khusus dengan TVRI, Sri Sultan Hamengku Buwana X mengatakan bahwa abdi dalem palawija merupakan simbol keharusan seorang sultan bagi kepentingan masyarakat secara keseluruhan, termasuk mereka yang bertubuh cacat. Sultan juga memiliki kewajiban untuk menjaga keseimbangan lahir dan batin agar pengaruh positif dapat mengalir dari luar maupun dalam.
“Bagi seorang sultan, palawija itu merupakan faktor yang menunjukan kebijakan dalam mengambil langkah,” ujar Sri Sultan dalam Jumenengan Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X, terbit tahun 1989.
Keraton Surakarta juga memiliki abdi dalem palawija dengan fungsi dan peran serupa. Mereka tinggal di Baluwerti, wilayah tempat tinggal kerabat dekat raja, baik yang sedang atau pernah memerintah, serta sejumlah abdi dalem. Wilayahnya berada di luar kedaton; lingkaran kedua istana.
Baca juga: Pemain Tunadaksa Penentu Juara Piala Dunia
Antara Baluwerti di Surakarta dan Jeron Beteng di Yogyakarta memiliki persamaan, “di antaranya mengenai macam penghuninya yang terdiri atas para pangeran, bangsawan lainnya dengan derajat lebih rendah, para abdi dalem tertentu yang sewaktu-waktu dibutuhkan raja, misalnya golongan palawija di Surakarta,” tulis Darsiti Suratman dalam Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939.
Pada masa Paku Buwana X (1893-1939), bila tidak ada upacara, para abdi dalem palawija menghadap Sunan. Mereka menyambut sunan yang secara rutin bangun pukul 08.00 dan setelahnya melakukan kegiatan sehari-hari. Hubungan abdi dalem palawija dengan raja begitu erat. Hubungan tersebut terbentuk dalam kaitan dunia bawah dan atas, yang pada tatanan sosial mewakili hubungan antara rakyat dan raja.
Kini, kehadiran abdi dalem palawija masih dipertahankan sebagai pengiring dalam perayaan garebeg.
No comments:
Post a Comment