Sunday, August 16, 2020

muhammad alfatih

Masjid Sulaymaniyah di Turki. Ini merupakan warisan Turki Utsmani yang masyhur. | REUTERS
16 Aug 2020, 03:31 WIB

Muhammad Al-Fatih, Konstantinopel, dan Strategi Perang

Di bawah kepemimpinan Muhammad al-Fatih, Turki Utsmani menikmati era kejayaan.

 

Penaklukan Kota Konstantinopel di masa Kekhalifahan Turki Utsmani merupakan salah satu peristiwa bersejarah dalam perkembangan Islam. Peristiwa ini terjadi pada masa sultan ke-7 Kesultanan Turki Utsmani, yakni Muhammad al-Fatih atau yang dikenal sebagai Sultan Mehmet II.

Di bawah kepemimpinan Sultan Mehmet II atau al-Fatih (sang penakluk), Turki Utsmani menikmati era kejayaan. Di masanya, pemerintahan Islam berhasil menguasai Konstantinopel, kota paling masyhur di dunia kala itu.

Mehmet II dilahirkan pada 30 Maret 1432 di Edirne. Ia adalah anak keempat Sultan Murad II. Mehmet II diangkat menjadi penguasa menyusul wafatnya sang ayah. Ketika itu, usianya baru menginjak 22 tahun. Ia memimpin Turki Utsmani pada dua periode, yakni masa kekuasaan pertama (Agustus 1444- September 1446) dan masa kekuasaan kedua (Februari 1451-Mei 1481). Pada masa kekuasaan kedua inilah Mehmet II menaklukkan Konstantinopel.

Terkini

Konstantinopel awalnya dikenal sebagai Byzantium, ibu kota Kekaisaran Romawi. Namun, 1.000 tahun setelah Konstantin Agung menjadikannya ibu kota Kekaisaran Romawi pada 330 M, Byzantium menyandang nama baru, Konstantinopel. Pada tahun 1453, bangsa Turki di bawah kepemimpinan Sultan Mehmet II menguasai Konstantinopel dan menjadikannya ibu kota Kesultanan Utsmani dengan nama baru, Istanbul.

Konstantinopel dipandang sebagai salah satu kota paling penting di dunia. Bahkan, pada masa Nabi Muhammad SAW, beliau pernah menyatakan kepada para sahabatnya bahwa Konstantinopel akan ditaklukkan kaum Muslimin.

Sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad, Rasulullah SAW ketika menggali parit pada Perang Khandaq mengatakan, "Sesungguhnya Kota Konstantinopel pasti akan ditaklukkan oleh tentara Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukannya adalah sebaik-baiknya pasukan."

Atas dasar hadis itulah, pasukan kaum Muslimin berupaya memperluas kekuasaannya ke Konstantinopel sejak masa pemerintahan Muawiyah bin Abu Sufyan. Dalam buku berjudul Berfikir Gaya Al-Fateh karya Muhammad Syaari Abdul Rahman disebutkan, khalifah Muawiyah pernah mencoba mengerahkan pasukan untuk menaklukkan kota itu pada 669 M. Namun, upayanya gagal.

Ketika Turki Utsmani dipimpin Mehmet II, umat Islam kembali berupaya menaklukkan Konstantinopel dengan keyakinan pada Hadis Rasulullah SAW tersebut. Sultan berjuluk al-Fatih ini dikenal sebagai sultan Utsmani yang berwibawa. Ia juga dikenal sebagai sosok yang mahir dalam ilmu sejarah, geografi, ilmu falak, dan puisi.

Menurut seorang pelukis dari Venesia, Belini, Mehmet II digambarkannya sebagai seorang Muslim yang saleh dan fasih bertutur dalam setidaknya tiga bahasa, yakni Arab, Turki, dan Parsi.

Ia juga disebut sebagai sosok yang bercita-cita tinggi, termasuk dalam upaya penaklukan Konstantinopel. Karena itu, ia sendiri terlibat dalam merencanakan penaklukan kota itu sejak awal. Upayanya dibantu penasihat dan pembantunya yang berwibawa, seperti Shamsuddin, yang juga merupakan penasihat kerohanian, serta wazir Zarghanos Pasha.

Mehmet II melakukan berbagai strategi dan persiapan untuk mengepung Konstantinopel. Ia kemudian mendirikan benteng besar di tepi Selat Bhosporus yang berhadapan dengan benteng yang didirikan Bayazid. Benteng Bhosporus yang dikenal pula dengan nama Rumli Haisar (Benteng Rum) dibangun sebagai pusat perbekalan perang untuk menyerang Konstantinopel.

Setelah berbagai persiapan, pasukan Utsmani di bawah al-Fatih kemudian melakukan pengepungan selama sembilan bulan. Pada 2 April 1453, Mehmet II menyerang kota itu. Serangan dimulai seusai shalat Jumat pada 6 April 1453 dengan tembakan yang dilepaskan oleh meriam raksasa.

Meriam itu diciptakan oleh Sultan Mehmet II dengan bantuan seorang insinyur bangsa Hungaria bernama Urban. Meriam yang mampu menembakkan peluru seberat 800 pon hingga 1.200 pon itu berhasil mengoyak benteng yang selama ini sepertinya kebal terhadap berbagai serangan.

Selain meriam, Mehmet II juga mengerahkan 140 buah kapal perang dan 320 buah perahu dengan tentara berjumlah 150 ribu orang, termasuk 12 ribu pasukan khusus Janisari yang terlatih.

Tidak mudah

Upaya penaklukan Konstantinopel ini tidak mudah. Sebab, setelah dua pekan serangan dilancarkan, kota itu masih mampu bertahan. Salah satu faktor kegagalan itu karena keterbatasan serangan yang dilancarkan dari darat.

Oleh karena itu, pada 21 April hingga 22 April, Mehmet II mengerahkan kapal perangnya agar diseret melalui Bukit Galata menuju wilayah Tanduk Emas. Serangan pun dilakukan dari laut agar lebih efektif. Dengan bantuan kayu bulat yang dihaluskan menggunakan lemak sapi, satu landasan diwujudkan guna memudahkan kapal itu diseret menaiki bukit.

Strategi ini rupanya mampu memecahkan pertahanan musuh. Namun, penaklukkan belum sepenuhnya berhasil. Strategi demi strategi dilakukan. Sultan Mehmet II kemudian memutuskan untuk melancarkan serangan utama dan memerintahkan pasukannya beristirahat dan berpuasa sebelum serangan dilakukan.

Sang sultan tak henti-hentinya memberikan semangat kepada bala tentaranya. Pada Rabu pagi, 29 Mei 1453, serangan pun dimulai. Serangan terencana ini akhirnya membuahkan hasil. Kota Konstantinopel pun jatuh ke tangan Turki Utsmani. Menyusul penaklukan itu, Konstantinopel menyandang nama baru, yakni Istanbul.

Setelah memenangkan peperangan, Sultan Mehmet II tidak serta-merta mengusir masyarakat di dalamnya. Namun, ia justru memberikan pengampunan pada masyarakat di kota itu dan mereka dilindungi. Selanjutnya, Istanbul dijadikan sebagai ibu kota Daulah Utsmaniyyah pada 1457. Sultan Mehmet II memegang tampuk kekuasaan hingga ia wafat pada 886 H (1481 M).

Runtuhnya Turki Utsmani

Islam pernah mencatat masa kejayaan, yang dimulai dari masa setelah Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, masa Khulafaurrasyidin, dan masa kekhalifahan dinasti. Kekhalifahan Islam berakhir seiring runtuhnya Khilafah Utsmaniyah atau dikenal dengan Kesultanan Turki Utsmani pada 3 Maret 1924.

Setelah berakhirnya periode kekhalifahan yang ditandai wafatnya khalifah keempat, Ali bin Abi Thalib (661 M), kepemimpinan Islam selanjutnya adalah kekhalifahan dinasti (pewarisan kekuasaan). Sekitar 1.263 tahun umat Islam menjalani era kekhalifahan setelah Khulafaurrasyidin. Dimulai dari kekhalifahan Umayyah (661-750 M), Abbasiyah (750-1258 M), dan Fatimiyah (909-1171) hingga Turki Utsmani.

Kekhalifahan Utsmani atau dikenal Ottoman dalam ejaan Barat merupakan kekhalifahan Islam terbesar yang bukan dari bangsa Arab. Philip Khuri Hitti dalam bukunya, History of the Arabs, menyebut kekhalifahan Utsmani berkuasa pada 1517-1924 M.

Turki Utsmani merupakan kekhalifahan yang sangat kuat dalam sejarah Islam. Kala itu, Turki Utsmani menguasai semenanjung Arab hingga Asia Selatan. Dinasti Turki Utsmani berkuasa cukup lama, yakni sekitar 625 tahun.

Turki Utsmani pernah berjaya di bawah pimpinan Sultan Mehmet II yang dikenal dengan sebutan al-Fatih (sang penakluk). Sebab, pada masanya, pemerintahan Islam berhasil menguasai Konstantinopel, kota yang paling tak tertembus di dunia kala itu.

Selain pada masa Mehmet II, Turki Utsmani juga berkilau di masa pemerintahan Khalifah Sulaiman al-Qanuni sepanjang abad ke-16 dan 17. Al-Qanuni sendiri bermakna pemberi hukum. Saat ia memerintah pada tahun 1520-1566 M, Turki Utsmani menjadi pemilik kekuatan tempur terbesar di dunia. Selain itu, Turki Utsmani juga menjadi imperium multinasional dan multibahasa yang mengendalikan sebagian besar Eropa Tenggara, Asia Barat/Kaukasus, Afrika Utara, dan kawasan Tanduk Afrika.

Pada masa setelah kepemimpinan Sultan Murad III (1573-1596), Turki Utsmani mengalami kemunduran. Para sultan disebut lebih suka bersenang-senang sehingga melupakan kepentingan perjuangan umat Islam.

Mengutip Betty Mauli Rosa Bustam dan tim dalam buku berjudul Sejarah Sastra Arab dari Beragam Perspektif, setelah penaklukan Konstantinopel, Turki dipimpin oleh sultan-sultan yang lemah. Selain itu, pemerintahan pada masa Turki Utsmani tidak menaruh perhatian terhadap segala hal yang berkaitan dengan Arab yang menjadi wilayah kekuasaannya. Sebaliknya, pemerintahan Turki Utsmani menerapkan kebijakan Turkisasi, yaitu menanamkan pengaruh Turki di setiap wilayah kekuasaannya. Misalnya, penerapan bahasa dan tradisi Turki.

Kemudian, Turki Utsmani diserang oleh tentara Eropa, seperti Inggris, Prancis, dan Rusia. Akibatnya, kekuasaan Utsmani kian melemah dan beberapa negeri kekuasaannya memisahkan diri.

Sultan Mehmet VI (1918-1922) merupakan sultan Utsmaniyah terakhir. Pada November 1922, Dewan Tertinggi Nasional di Ankara menjadikan Turki sebagai negara republik dan melengserkan Sultan Mehmet VI, kemudian mengangkat saudara sepupunya, Abdul Majid sebagai penggantinya. Namun, Abdul Majid tak menduduki jabatan itu (sultan).

Pada 1924, Kesultanan Utsmani akhirnya dibubarkan dan menjadi Republik Turki. Tampillah Mustafa Kemal sebagai pemimpin Turki dan digelari Attaturk (Bapak Turki). Di masa Turki modern itu, ibu kota kemudian pindah ke Ankara.


Berita Terkait

    notification
    We'd like to notify you about the latest updates
    You can unsubscribe from notifications anytime

    No comments:

    Post a Comment